Saturday, March 10, 2012

Tembok Itu Bernama Kesenjangan Sosial


2 tahun yang lalu. Ya, aku masih ingat betul apa yang kulihat waktu itu. Orang-orang di lingkungan yang kumuh itu mandi di kali. Kali yang jauh dari kesan bersih. Airnya keruh, banyak sampah hanyut, bahkan limbah dari perut manusia pun campur aduk di sana, di tempat yang mereka gunakan untuk membersihkan badan. Tidak terbayang olehku. Seandainya aku yang menggantikan posisi mereka, tentu bukan raut wajah itu yang akan keluar. Mungkin lebih baik tidak mandi bagiku, daripada justru membuat badan kotor dengan “membersihkan” badan di tempat itu. Tapi lihat mereka! Sama sekali tidak ada raut wajah jijik, dan tidak ada keluhan yang keluar dari mulut mereka. Justru celotehan canda dan tawa yang keluar dari mulut anak-anak yang sedang bermain air itu. Mereka terlihat sangat menikmati setiap cipratan yang mengenai kepala mereka. Mereka juga tidak segan untuk memasukkan kepala mereka dalam air, menyelam dan mengagetkan temannya dari belakang. Oh indahnya dunia mereka, pikirku. Dasar anak-anak.. Mereka tidak akan tahu pahitnya dunia sebelum berubah menjadi dewasa.

Kali itu merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitar. Tidak pernah sepi tepian kali itu sepanjang hari. Mandi, mencuci, bermain air, kencing dan buang air besar mereka lakukan di sana. Di depan tepi kali itu, tedapat sebuah toko kelontong yang menjual berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Di situlah banyak bapak-bapak sering berkumpul di sore hari,  mengobrol dan melepas lelah setelah seharian bekerja. Ada yang buka bengkel kecil-kecilan, tukang ojek, dan yang paling banyak adalah tukang becak. Mereka bisa menghabiskan banyak waktu di sana. Mungkin sebagian dari mereka melakukannya karena tidak betah di rumah, mendengarkan omelan istri yang menuntut materi. Yah, begitulah. Kehidupan di sekitar kali itu dipenuhi realita masyarakat akar rumput yang seakan tidak pernah ada habisnya.

Heran juga, kenapa di kota besar seperti Jogja ini masih ada saja masyarakat seperti itu. Di era pembangunan proyek real estate macam Casa Grande digenjot habis-habisan, ternyata masih ada orang yang mencuci pakaian di kali. Ada masyarakat yang masih buang air besar di kali. Sementara itu, pemkot masih sibuk dengan proyek renovasi, atau lebih tepatnya komersialisasi Tugu yang menghabiskan dana tidak sedikit. Mereka tidak lihat atau sengaja menutup mata? Entahlah.

Hari itu aku benar-benar melihat dan belajar. Kesenjangan sosial itu sangat nyata! Ternyata kesenjangan sosial bukan hanya tertulis di modul sosiologi yang sering kubaca. Ini nyata! Dan orang tidak berdaya untuk merombak, atau bahkan menghancurkannya.

                                                                                 ***

Ketika melihat lebih jauh, ternyata di dekat kali itu terdapat sebuah perumahan. Perumahan besar yang memakai tembok besar sebagai pagar pelindung. Hanya ada satu jalan masuk dan keluar perumahan itu, yaitu melalui jembatan di atas kali. Perumahan itu memang terletak di tengah kali, hanya saja tanahnya lebih tinggi. Dulu pernah ada banjir besar yang melanda perumahan itu. Kali yang meluap akibat hujan lebat selama berhari-hari menyebabkan air merendam perumahan itu setinggi 2 meter. Hal itu sebenarnya membuat orang menjadi takut untuk tinggal di sana. Tapi cerita itu sudah lebih dari 20 tahun yang lalu. Warga perumahan itu seakan ingin mengubur dalam-dalam kenangan pahit tentang perasaan kehilangan harta benda mereka. Mereka ingin memulai segala-sesuatunya dengan baru.

Kini, penghuninya rata-rata kelas menengah keatas. Hampir setiap rumah memarkir mobil di garasinya. Banyak lampu penghias di jalan, atau lebih tepatnya terlalu banyak, karena membuat penerangan sangat terang. Sebuah ide yang jauh melenceng dari esensi lampu sebagai penerang. Sementara perumahan itu begitu berlimpah listrik dan sumber daya, di depan toko kelontong dekat kali itu hanya ada satu lampu redup berwarna kuning, yang membuat mata sakit karena keredupannya. Itu saja akan dimatikan ketika jam sudah menunjuk angka 10 malam. Mobil warga perumahan yang kerap lewat sering mengacuhkan orang yang sedang duduk di sana. Jangankan menyapa atau sekedar permisi, mematikan lampu saja seakan sangat berat untuk dilakukan.

Aku berpikir, setelah ada kesenjangan sosial yang meresahkan macam itu, kenapa warga sekitar kali tidak pernah keberatan? Kenapa mereka seakan menyikapinya seperti angin yang berhembus begitu saja? Padahal kalau mau, mereka bisa saja berama-ramai menyerang dan menjarah seluruh harta benda warga perumahan itu. Mereka bisa melakukannya. Tapi, kenapa tidak?

Hati. Hati mereka berbicara di sini. Mereka tidak mau melawan binatang dengan memakai cara binatang. Berat, memang. Tapi itu yang mereka yakini, paling tidak untuk saat ini. Jika di kemudian hari mereka benar-benar merencanakan sebuah “agresi” ke perumahan itu? Mungkin. Hanya Dia yang maha tahu. Saat itu terjadi, bisa saja mereka menghancurkan tembok besar yang mengitari perumahan itu, tapi tembok kokoh yang bernama kesenjangan sosial tidak semudah itu bisa dihancurkan. Perlu sebuah proses yang panjang bagi seorang manusia jenius sekalipun untuk bisa memaknai dengan bijak sesuatu yang disebut perubahan.


Jogja, 14 Mei 2010, 16:54

No comments:

Post a Comment