“Kata orang, mencintai itu butuh ketulusan.” Itulah kalimat
yang dari tadi menggema di kepalaku. Sore ini udara cukup cerah. Tempatku duduk
teduh, dipayungi oleh rimbunnya daun beringin besar –yang konon katanya, sudah ada
di tempat itu ribuan tahun lamanya. Ia memang jadi yang terbesar di sini.
Sisanya, hanyalah pepohonan cemara yang tidak terlalu besar ukurannya. Ada juga
beberapa batang pohon muda yang terlihat baru ditanam. Mungkin bekas
kegiatan-tanam-seribu-pohon oleh kumpulan mahasiswa aktivis lingkungan, yang
memang gencar dikampanyekan akhir-akhir ini di area kampus. Pohon beringin itu
menyediakan kursi alami, atau sekedar tempat menyandarkan kepala untuk melepas
penat. Seperti yang sedang kulakukan sore ini. Duduk, menyandarkan kepala di
akar-akar besar pohon beringin. Tempat ini selalu sepi, jauh dari keramaian.
Mungkin inilah alasan utama bagiku untuk menjadikannya sebagai tempat melarikan
diri dari hiruk-pikuk kegaduhan kampus.
Bukankah mencintai itu sederhana? Orang-orang itu selalu
mengucap cinta. Ringan. Namun apakah mereka sadar bahwa mencintai tidak semudah
mengatakan “aku sayang kamu”? Tertimbun ribuan konsekuensi logis di bawah
penggalan kalimat populer itu. Memang, kesederhanaan selalu dikejar oleh mereka
yang sedang dimabuk cinta. Love last when
we managed to keep it simple, katanya. Tapi apakah memang sesederhana itu?
Kurasa tidak.
Kualihkan pandangan ke atas, mencari sinar matahari yang
sesekali berhasil menembus lebatnya daun yang ditiup angin sore. Suara gemertak
ranting yang beradu akibat tiupan angin membuatku tersenyum. Mungkin itu adalah
terapi bunyi paling mujarab buatku. Menjadi sebuah kemewahan bagiku bisa
mendengar suara semacam itu di tengah bisingnya lalu-lintas kota sehari-hari.
Suaranya indah. Terdengar natural. Tidak dibuat-buat.
Mungkin aku lelah dengan sesuatu yang dibuat-buat. Mengingat
obrolan siang tadi, aku menyerah menjadi orang yang (seolah-olah) siap
mencintai. Jika ketulusan dibutuhkan dalam mencintai, aku siap. Namun tak
pernah terpikirkan olehku bahwa ia bukanlah syarat tunggal. Ternyata tidak
cukup mencintai hanya bermodalkan ketulusan. Pertahananku selama setahun
belakangan, gugur seketika akibat obrolan 27 menit siang tadi. Aku selama ini
merasa siap untuk mencintai. Aku merasa selama ini telah memperjuangkan apa
yang memang pantas untuk diperjuangkan. Namun ternyata, lelah adalah satu titik
dalam hidup yang tidak terelakkan. Dan ternyata, perjuangan terbesar adalah
melepaskan apa yang selama ini kita coba pertahankan. Sulit rasanya. Tapi apa
mau dikata. Melepas topeng kesiapan, paling tidak memberiku kelegaan yang luar
biasa. Menurunkan palang imajiner yang selama ini coba kukejar, entah demi
aktualisasi diri, atau manifestasi alam bawah sadar, aku tidak tahu. Yang
jelas, perasaan lega setelahnya menjadi gejala kebahagiaan yang utama.
Sapuan angin kali ini begitu keras, hingga menggugurkan
banyak daun kecoklatan ke tanah. Alam seolah ingin bergabung dalam pergulatan
pikiranku.
Aku membayangkan cinta, dan aktivitas mencintai, adalah hal casual. Menyehari. Jadi menurutku nonsense apabila ada orang putus dengan
alasan “bosan”. Bagaimana mungkin kamu mengharapkan cinta tidak membosankan?
Bosan menurutku adalah implikasi dari cinta. Atau sama halnya dengan orang yang
sudah lama berpacaran, kemudian mengklaim bahwa kadar sayang-nya turun
dibandingkan ketika baru pacaran. Maybe
you just didn’t love her from the very first time, man. Seharusnya ketika
memutuskan untuk berpacaran, kita sudah memproyeksikan bahwa bosan, b-o-s-a-n
merupakan konsekuensi logis dari afektivitas kita kepada seseorang.
Aku sudah siap dengan bosan. Itu adalah peryataan diri
setahun yang lalu. Dan terus begitu. Sampai hari ini. Sampai siang tadi.
Siapa sangka yang menggugurkanku adalah tuntutan? Tuntutan
untuk tidak begini, jangan begitu, harus menganu,
sebaiknya mengini. Bukankah cinta
ternyata, pada saatnya, akan melahirkan benih-benih tuntutan semacam itu? Benih
itu yang akan merongrong kemerdekaanku terhadap tubuhku. Kalian bisa menyebutku pecundang, tidak berani mengambil
konsekuensi. Tapi paling tidak, aku yang tahu diriku. Aku yang tahu
kapasitasku. Setidaknya aku belum siap untuk dituntut –bukan tidak.
“Wuahahahaha.” Aku menertawakan diriku sendiri. Siapalah aku
ini coba membuat teori tentang cinta. Mungkin semesta juga ikut menertawakan.
Satu dentum aksidental di ujung kuku kakinya, kumaknai secara (sok) mendalam
dengan argumentasi yang kental subjektivitas. Padahal dentum itu tidak bermakna
pada arus putaran semesta. Semua tetap berjalan seperti biasanya.
***
Langit telah memerah. Matahari siap berpulang ke peraduannya
di balik cakrawala.
Kunyalakan sebatang kretek dan bangun untuk bergegas pulang.
Saatnya melanjutkan kehidupan.
Depok, 11 September
2014
23.07