Saturday, November 3, 2012

(In)formalitas.

Malam ini saya teringat sebuah punchline dari Mbah Seno Gumira Ajidarma.

"Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara," katanya.

Kalimat itu ia jadikan pegangan kala menjadi pemred majalah Jakarta-Jakarta sekitar tahun 1998 silam. Dimana rezim orde baru sedang gencar-gencarnya membredel media-media yang dianggap 'tidak sejalan' dengan mereka. Tidak sejalan dengan apa yang ingin mereka citrakan.

Kalimat tersebut kemudian ia jadikan buku, yang kurang lebih isinya merupakan pertanggungjawaban dari apa yang ia tulis dalam roman 'Jazz, Parfum dan Insiden'. Dalam roman tersebut ia menyelipkan fakta-fakta dari kisruh di Timor Leste dalam masa pelepasannya dari Republik Indonesia. Sisanya adalah roman tentang Jazz. Dan parfum.

Well intinya, Seno memilih jalan lain untuk berbicara kala itu. Ia yang notabene adalah jurnalis, pemimpin sebuah media, tidak ragu untuk pindah haluan ketika jalannya yang biasa diblokir oleh sebuah rezim.

Cerdas. Karena pada akhirnya ia tetap bisa lantang bersuara. Jakarta-Jakarta menjadi satu dari sedikit media yang tidak dibredel, meski Seno sempat harus berhadapan dengan laras senapan. Ya, literally ditodong senapan di dada kirinya. Tapi pada akhirnya, kekerasan memang tidak bisa mematikan kecerdasan. Hihi.

Saya membaca buku itu kelas 1 SMA. Dan cuma bisa melongo setelahnya.

Sekarang saya udah dewasa *ehem*, dan tetap cuma bisa melongo. Sambil tersenyum simpul.

Kenapa? Karena semakin saya ingat kembali, semakin saya memahaminya bukan sekedar sebagai tagline sastrawi. Yang melulu tentang estetika linguistik. Lebih dari itu, ini adalah tentang konsepsi yang radikal. Mendasar, boi.

Jurnalisme itu sarat sistematika. Diksinya, alurnya, segmen bacanya. Semua penuh perkiraan. Semua tentang sistematika (baca: 'formalitas'). Saya jepitkan kata formalitas diantara petik karena formalitas disini bukan yang telah terdistorsi dengan makna negatif, tapi benar-benar formalitas. Sistematika-formal.

Sedangkan sastra? Bahkan ia sering dengan sengaja meng-salah-kan tata bahasanya, demi mengamplifikasi estetika maknanya. Sastra mendobrak segala macam kesahihan struktur linguistik, bahkan alur logis dari proposisi. Bukannya sastra tidak punya marka sistematis, namun ia cenderung mengesampingkan itu untuk mencapai makna yang jauh lebih dalam.

Informalitas ini yang sekarang saya kagumi.
Terkait dengan refleksi saya di kelas, di lingkungan pergaulan, seringkali 'orang formal' bisa terlihat meyakinkan. Sangat menawan dalam orasi, namun tidak punya nyawa dalam berelasi.
Hihihi.
Buat saya, sesuatu yang formal akan jadi bullshit ketika ia hanya menjadi formalitas belaka.
Dan sayangnya, saya memang bukan orang yang bisa mengikuti formalitas dengan setia.
Ibaratnya, kalo formalitas itu pacar saya, entah berapa kali saya udah selingkuh. Hahaha.

Pada akhirnya, ada hal yang tidak bisa diselami oleh formalitas.
Mungkin yang bisa lebih dalam menyentuhnya adalah obrolan hangat, guyonan, atau sebatang-dua batang kretek ditemani segelas kopi hitam di warung kopi.

Makasih Mbah Seno, karena telah mencegah saya terbungkam. Oleh formalitas.
Cheers n beers!