Thursday, December 9, 2021

Ingatan dan Harapan

 "Manusia dikutuk untuk menjadi bebas" kata Jean Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis Perancis yang hidup di masa ketika perang menjadi sesuatu yang populer untuk menyelesaikan masalah. Interpretasiku, Sartre sebenarnya cuma mau bilang bahwa manusia itu bebas. Tapi kata "dikutuk" di sini adalah bumbu satir yang ditambahkan, untuk menekankan bahwa kebebasan itu ya memang "pada hakikatnya" melekat pada manusia, suka atau tidak, setuju atau tidak. Menurutku, manusia dikutuk dengan 2 hal: ingatan dan harapan. Ingatan memiliki korespondensi ke belakang (masa lalu), harapan memiliki korespondensi ke depan (masa depan).


Ingatan adalah segala sesuatu yang terekam dalam otak kita, tepatnya di bagian lobus frontalis, yang tentu bertambah seiring dengan pengalaman kita yang terjadi dalam hidup. Otak manusia bisa merekam hal-hal yang mereka alami, dengan kapasitas penyimpanan yang begitu besar. Ada ingatan-ingatan yang kuat terekam, ada pula yang tidak terlalu membekas. Ada ingatan-ingatan bahagia, ada juga yang sedih, menakutkan, dsb. Aku setuju dengan analogi koper (film Up In The Air, 2009), yang kurang lebih menggambarkan bahwa manusia hidup dengan membawa koper yang berisi tentang hal-hal yang terjadi dalam hidupnya sejauh ini. Ingatan, termasuk di dalamnya. Seiring dengan berjalannya waktu, koper ini akan semakin penuh terisi, dan akan semakin berat untuk dibawa. Lebih jauh lagi, kalau kita tidak bisa memilah, mana hal yang penting buat kita, dan mana yang bukan, lambat laun kita akan overwhelmed dengan koper kita sendiri.

Ingatan mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk make or break seseorang. Ada orang yang memiliki trauma masa kecil, yang kemudian selamanya membekas dan membentuk pribadinya ketika bertumbuh. Ada orang yang kehilangan orang yang mereka cintai, sangat mendalam sampai mereka tidak bisa melanjutkan kehidupan seperti sedia kala. Korespondensi ingatan manusia terhadap masa lalu ini bisa memberikan konsekuensi yang begitu besar terhadap present self seseorang.

Harapan, di sisi yang lain, sama seperti ingatan, yaitu adalah produk pikiran manusia. Yang berbeda adalah korespondensinya ke masa depan, bukan masa lalu. Jika manusia berharap, berarti ia sudah menggantungkan sebagian dari kapasitas mental nya dalam harapan tersebut. Lebih jauh, jika harapan tersebut berkaitan dengan hal-hal di luar dirinya, yang otomatis tidak bisa sepenuhnya ia kontrol, maka kemungkinan hasilnya menjadi 2: terjadi, atau tidak. Ini yang menjadi persoalan. Ketika kita berharap pada suatu hal di luar diri kita, misalnya orang lain. Kita berharap pasangan kita berubah, dari gaya jokes yang receh menjadi intelektual, misalnya. Hal ini berkaitan dengan banyak sekali variabel yang tidak bisa kita kontrol sendiri, seperti keinginan pasangan kita, kapabilitasnya, urgensi dalam melihat hal ini, dst dst. Dan ketika harapan kita tidak terjadi, hasilnya seringkali adalah kekecewaan. Harapan adalah proses pikiran individu. Tapi seringkali variabelnya berkaitan dengan orang lain. Ketika ini tidak bisa bertemu, maka terjadi selisih yang menghasilkan kekecewaan (pikiran individu juga). Input dan output nya pikiran individu, tapi proses yang terjadi di tengahnya adalah relasi sosial dengan orang lain. Ini adalah paradoks dalam harapan. Pikiran individu sebagai input, tapi akan banyak terdistorsi oleh proses sosial di tengahnya, yang bermuara ke pikiran individu lagi (kekecewaan bila tidak tercapai, atau kebahagiaan, kepuasan jika tercapai).

"Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia terbelenggu", kata J.J Rosseau, seorang filsuf Jenewa (waktu itu masih menjadi city state), yang banyak melahirkan ide-ide mengenai kontrak sosial, melihat manusia dan relasinya dalam kelompok-kelompok hidup. Belenggu ini datangnya menurutku dari berbagai macam hal yang ada di luar dirinya: kebebasan orang lain, norma sosial, hukum, dst dst. Maka, harapan memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk bisa disabotase oleh banyak hal di luar kontrol kita. Sama seperti ingatan, hal ini bisa membentuk, atau menghancurkan seseorang. Ada orang yang menikah beda agama, seems fine, harmonis, tidak ada masalah berarti. Tapi di 20 tahun usia perkawinannya, deep down dia ternyata berharap bahwa pasangannya suatu hari nanti akan pindah agama. 20 years, man. Selama itu dia membawa koper berat, yang dalam kasus ini, bahkan pasangannya tidak tahu bahwa koper itu ada. Dan ini, menghasilkan kekecewaan juga, karena ada selisih antara harapan tersebut dan kondisi faktual yang ada.

Itulah kenapa, menurutku manusia dikutuk dengan 2 hal: ingatan dan harapan. Aku masih belum menemukan jalan tengah untuk ini, dan mungkin tidak akan pernah bisa juga. Karena di sisi yang lain, dua hal inilah yang menjadi ciri khas, fitur utama kehidupan manusia, makhluk yang diciptakan dengan kognisi eksklusif, yang tidak ditemukan pada makhluk hidup lainnya. 2 hal inilah yang membuat manusia, bisa dikatakan sebagai manusia. Kita sebagai manusia, pasti akan hidup dengan ingatan dan harapan. Suka atau tidak, titik.

Setidaknya, dengan kesadaran ini, kita bisa sedikit mengontrol, mana hal yang penting untuk diingat, atau kepada siapa kita akan berharap, sehingga bisa meletakkan ekspektasi yang  proporsional, serta siap untuk dua kemungkinan hasil yang bisa terjadi: kebahagiaan, atau kekecewaan.