Wednesday, March 18, 2015

Coda

"Where did we come from? Why are we here? Where do we go when we die?”*

Apakah kalian pernah bertanya, darimana kita berasal? Apakah benar kata kitab tebal itu? Paling tidak, di sana kemudian tidak kudapatkan jawaban yang memuaskan daya pikirku. Terutama tentang mengapa. Bukankah mengapa merupakan pertanyaan paling mendasar dalam hidup? Jauh lebih rumit daripada bagaimana, atau siapa dan di mana. Mengapa kita ada di sini? Menjalani hidup, yang sebenarnya tidak kita ingini sebelumnya. Terlempar begitu saja ke dunia. Harus menjalani hidup. Mereka yang beruntung, terlempar di sofa empuk, ruangan dingin dengan televisi selebar dinding. Sisanya? Jatuh di gubuk-gubuk reyot. Makan dari sampah dan mandi di sungai kotor. Mungkin banyak dari mereka yang menjalani hari dengan hujatan. Tentang keterpaksaan. Ujungnya, membayangkan imbalan surga dari kerja kerasnya di dunia. Padahal siapa yang bisa menggaransi surga? Siapa yang pernah bercerita bahwa setelah mati, akan ada tempat indah dengan banyak bidadari di dalamnya? Cih. Iklan semata.

Tempat ini begitu melelahkan. Batinku sudah tidak toleran. Jarum yang menempel di tangan, seolah menyatu dengan badan. Aku bosan. Bosan tiduran. Bosan sendirian. Bosan terkulai lemas di ranjang. Ingin rasanya berdiri, berjalan keluar dan menghirup udara segar. Bukan bau infus dan obat-obatan yang memuakkan.

Sampai tak kuhitung lagi berapa lama waktu yang telah kuhabiskan di sini. Terlalu lama. Terlalu lelah untuk terus menghitung sesuatu yang seolah tak akan pernah berakhir. Ribuan jam mungkin sudah kuhabiskan hanya untuk mengamati ruangan ini. Tidak terlalu luas. Hanya ada kasur tempatku terbaring, tiang beserta kantong infus, monitor jantung, tabung oksigen, pispot di bawah tempat tidur, beberapa kursi –yang mungkin sudah rindu untuk diduduki. Ratusan pil mungkin sudah kuminum (dari yang seharusnya ribuan). Aku muak dengan rasa mereka. Toh menelan ribuan juga tidak membuatku bisa kembali hidup bebas.

Ya. Aku memang pesakitan. Dan aku sendirian.

“What lies beyond? And what lay before? Is anything certain in life?”

Pikiranku melayang jauh mendengar suara dari earphone. Satu-satunya kepastian bagiku adalah kematian. Sisanya tak lebih dari sekedar kemungkinan. Sedikit yang terjadi, banyak yang tidak.

“They say "Life is too short", "The here and the now", and "You're only given one shot"
But could there be more. Have I lived before, or could this be all that we've got?”

Kalau memang kita hanya diberi jatah hidup satu kali, maka penyesalanku kini tak akan habis dimakan waktu. Kadang aku tidak terima. Apa yang salah dengan menikmati hidup? Salah apa yang kubuat dalam menikmati hidup, hingga akhirnya harus terbaring lemas di tempat terkutuk ini? Banyak ingatan berseliweran di kepalaku. Tentang malam-malam itu. Tentang hotel, rumah, kamar kos itu. Tentang mereka-mereka yang pernah menikmati hidup bersamaku. Tentang waktu itu. Apa mereka mengalami hal yang sama denganku? Apa mereka juga semenyesal aku?
Jika ini imbalannya, aku ingin bisa memutar waktu.

“I used to be frightened of dying. I used to think death was the end. But that was before. I'm not scared anymore. I know that my soul will transcend.”

Tujuh tahun lalu. Masih hangat di benakku bagaimana vonis itu jatuh seperti palu yang dihentakkan ke kepalaku. Termasuk yang terlambat mengetahui, kata dokter. Masa inkubasi virusnya maksimal 11 tahun, rata-rata hanya 8. Kemungkinan untuk memperlambat proses inkubasi? Bisa, sampai dengan 15 tahun. Tapi kemungkinan sembuh? Nol. Vonis itu memberangus kebahagiaanku. Air mataku waktu itu pun seolah terlalu lunglai untuk dapat menetes. Dadaku sesak. Emosi, tapi pada siapa? Siapa yang bisa kupersalahkan atas penyakitku? Asalnya pun aku tak tahu dari siapa. Wajah-wajah mereka yang pernah menghabiskan malam denganku langsung kuingat satu-satu. Terlalu banyak. Spekulasi macam apa pun percuma. Semua sudah terjadi.

Aku takut mati. Aku tidak mau menjadi pesakitan.

Pun ketika dokter mencoba menenangkan hari itu, aku tidak terima. Aku mengutuk semesta. Ini bukan jalan hidup yang kumau. Aku hanya berobat karena flu ringan. Tidak menyangka dokter menyarankan untuk cek darah. Mungkin prognosisnya melihat sesuatu yang lebih daripada sekedar influenza. Siapa yang menyangka kurang dari sepuluh tahun, hidupmu bisa jatuh dari langit ke bumi? Dari yang punya segalanya, menjadi orang hina yang tidak punya apa-apa?

Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku tidak lagi takut pada kematian.
I won’t lose anything, anymore.

“I may never find all the answers. I may never understand why. I may never prove what I know to be true, but I know that I still have to try.”

Sampai saat ini, pertanyaan mengapa masih terus memenuhi pikiranku. Pun ketika akhirnya aku melunak dan menerima status “pesakitan”, aku masih bertanya pada mereka. Pada orang-orang suci yang takut berpapasan dengan kami. Pada orang-orang saleh yang melihat dengan tatapan jijik ketika tahu bahwa kami membawa virus mematikan. Pada orang-orang yang katanya beradab, tapi tidak mau bersentuhan dengan kami. Adab bukan representasi intelegensi ternyata. Mungkin mereka akan malu sendiri apabila mengetahui bahwa virus ini tidak akan menular melalui sentuhan. Bahkan keringat, air mata, saliva dan feses kami bersih darinya. Hanya darah dan sel telur. Hanya itu. Artinya, jangankan bersentuhan, berciuman pun kami akan menyimpan virus itu untuk diri kami sendiri.  Apakah sebegitu susahnya mencerna informasi sesederhana itu? Atau karena mereka tidak peduli? Memilih untuk tidak peduli pada kami, 40 juta populasi dunia ini?

Aku pernah satu kamar dengan seorang bayi. Ibunya pesakitan. Maka ketika mengandung, 25% kemungkinan anaknya akan mewarisi virus itu. Dan memang, ia tidak beruntung. Seketika itu, waktu lahir, semenjak itu pula diskriminasi terjadi. Ia dipindahkan ke ruangan khusus. Entah bagaimana nasib hidupnya nanti –kalau ia cukup kuat untuk bisa bertahan selama itu.

Aku sudah kenyang dengan segala macam perlakuan khusus. Yang katanya demi kebaikanku. Yang katanya memang perlu penanganan khusus. Yang katanya perlu memiliki ruang privat tersendiri. Sebulan dua bulan, aku masih percaya. Keluargaku. Mereka yang mengatakan padaku hal-hal itu. Ayah ibuku masih sering mengantar buah-buahan. Setelah itu? Nihil. Hanya tagihan tiap bulan yang selalu lunas. Cuma itu. Mungkin nanti ketika saatnya tiba, aku hanya akan berakhir di kamar mayat. Maksimal dikremasi. Lalu abunya dibuang. Mereka pasti malu jika ada nisan pesakitan yang “membawa aib bagi keluarga”. Aku memang sudah melepaskan semuanya. Aku sadar kita memang benar-benar hidup sendiri. Persetan lah dengan hubungan keluarga, relasi, sahabat atau apapun itu. Kekasih yang katanya belahan jiwa pun jijik dengan virus semacam ini. Langsung ambil langkah seribu ketika tahu. Mungkin ia lupa janji-janji manis yang pernah saling kami lemparkan. Kini aku mengingatnya hanya sebagai hal yang lucu. Ironis.

Pandanganku menyapu ruangan itu. Hanya pasrah menanti waktu. Pasrah menerima suntikan antibodi dua hari sekali, yang entah apa gunanya. Detak jarum jam beradu dengan suara lirih monitor jantung. 

Tik-tok tik tok. Tit.. tit.. tit.. tit.. tit..
Suara teror bagiku. Seolah dikejar waktu. Itu kenapa aku lebih memilih untuk bersembunyi di balik earphone ini.

Tahun terakhir prediksi dokter. Aku menghabiskannya dengan mengingat dan menulis. Paling tidak, dengan mengenang, nantinya aku bisa bercerita bahwa pernah hidup. Pernah menjalani kehidupan.

“If I die tomorrow
I'd be alright
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on”

Alunan lagu itu mengantarkanku pada rasa kantuk yang luar biasa.
Pemutar lagu yang tergeletak di atas dadaku layarnya berkedip. Baterainya redup.



Depok, 14 September 2014
09.33
*lirik lagu “Spirit Carries On”, Dream Theater