"Where did we come
from? Why are we here? Where do we go when we die?”*
Apakah kalian pernah bertanya, darimana kita berasal? Apakah
benar kata kitab tebal itu? Paling tidak, di sana kemudian tidak kudapatkan
jawaban yang memuaskan daya pikirku. Terutama tentang mengapa. Bukankah mengapa
merupakan pertanyaan paling mendasar dalam hidup? Jauh lebih rumit daripada
bagaimana, atau siapa dan di mana. Mengapa kita ada di sini? Menjalani hidup,
yang sebenarnya tidak kita ingini sebelumnya. Terlempar begitu saja ke dunia. Harus menjalani hidup. Mereka yang
beruntung, terlempar di sofa empuk, ruangan dingin dengan televisi selebar
dinding. Sisanya? Jatuh di gubuk-gubuk reyot. Makan dari sampah dan mandi di
sungai kotor. Mungkin banyak dari mereka yang menjalani hari dengan hujatan.
Tentang keterpaksaan. Ujungnya, membayangkan imbalan surga dari kerja kerasnya
di dunia. Padahal siapa yang bisa menggaransi surga? Siapa yang pernah
bercerita bahwa setelah mati, akan ada tempat indah dengan banyak bidadari di
dalamnya? Cih. Iklan semata.
Tempat ini begitu melelahkan. Batinku sudah tidak toleran.
Jarum yang menempel di tangan, seolah menyatu dengan badan. Aku bosan. Bosan
tiduran. Bosan sendirian. Bosan terkulai lemas di ranjang. Ingin rasanya
berdiri, berjalan keluar dan menghirup udara segar. Bukan bau infus dan
obat-obatan yang memuakkan.
Sampai tak kuhitung lagi berapa lama waktu yang telah
kuhabiskan di sini. Terlalu lama. Terlalu lelah untuk terus menghitung sesuatu
yang seolah tak akan pernah berakhir. Ribuan jam mungkin sudah kuhabiskan hanya
untuk mengamati ruangan ini. Tidak terlalu luas. Hanya ada kasur tempatku
terbaring, tiang beserta kantong infus, monitor jantung, tabung oksigen, pispot
di bawah tempat tidur, beberapa kursi –yang mungkin sudah rindu untuk diduduki.
Ratusan pil mungkin sudah kuminum (dari yang seharusnya ribuan). Aku muak
dengan rasa mereka. Toh menelan ribuan juga tidak membuatku bisa kembali hidup
bebas.
Ya. Aku memang pesakitan. Dan aku sendirian.
“What lies beyond? And
what lay before? Is anything certain in life?”
Pikiranku melayang jauh mendengar suara dari earphone. Satu-satunya kepastian bagiku
adalah kematian. Sisanya tak lebih dari sekedar kemungkinan. Sedikit yang
terjadi, banyak yang tidak.
“They say "Life
is too short", "The here and the now", and "You're only
given one shot"
But could there be
more. Have I lived before, or could this be all that we've got?”
Kalau memang kita hanya diberi jatah hidup satu kali, maka
penyesalanku kini tak akan habis dimakan waktu. Kadang aku tidak terima. Apa
yang salah dengan menikmati hidup? Salah apa yang kubuat dalam menikmati hidup,
hingga akhirnya harus terbaring lemas di tempat terkutuk ini? Banyak ingatan
berseliweran di kepalaku. Tentang malam-malam itu. Tentang hotel, rumah, kamar
kos itu. Tentang mereka-mereka yang pernah menikmati hidup bersamaku. Tentang
waktu itu. Apa mereka mengalami hal yang sama denganku? Apa mereka juga semenyesal aku?
Jika ini imbalannya, aku ingin bisa memutar waktu.
“I used to be
frightened of dying. I used to think death was the end. But that was before.
I'm not scared anymore. I know that my soul will transcend.”
Tujuh tahun lalu. Masih hangat di benakku bagaimana vonis
itu jatuh seperti palu yang dihentakkan ke kepalaku. Termasuk yang terlambat
mengetahui, kata dokter. Masa inkubasi virusnya maksimal 11 tahun, rata-rata
hanya 8. Kemungkinan untuk memperlambat proses inkubasi? Bisa, sampai dengan 15
tahun. Tapi kemungkinan sembuh? Nol. Vonis itu memberangus kebahagiaanku. Air
mataku waktu itu pun seolah terlalu lunglai untuk dapat menetes. Dadaku sesak.
Emosi, tapi pada siapa? Siapa yang bisa kupersalahkan atas penyakitku? Asalnya
pun aku tak tahu dari siapa. Wajah-wajah mereka yang pernah menghabiskan malam
denganku langsung kuingat satu-satu. Terlalu banyak. Spekulasi macam apa pun
percuma. Semua sudah terjadi.
Aku takut mati. Aku tidak mau menjadi pesakitan.
Pun ketika dokter mencoba menenangkan hari itu, aku tidak
terima. Aku mengutuk semesta. Ini bukan jalan hidup yang kumau. Aku hanya
berobat karena flu ringan. Tidak menyangka dokter menyarankan untuk cek darah.
Mungkin prognosisnya melihat sesuatu yang lebih daripada sekedar influenza.
Siapa yang menyangka kurang dari sepuluh tahun, hidupmu bisa jatuh dari langit
ke bumi? Dari yang punya segalanya, menjadi orang hina yang tidak punya
apa-apa?
Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku tidak lagi takut
pada kematian.
I won’t lose anything,
anymore.
“I may never find all
the answers. I may never understand why. I may never prove what I know to be
true, but I know that I still have to try.”
Sampai saat ini, pertanyaan mengapa masih terus memenuhi
pikiranku. Pun ketika akhirnya aku melunak dan menerima status “pesakitan”, aku
masih bertanya pada mereka. Pada orang-orang suci yang takut berpapasan dengan kami. Pada orang-orang saleh yang
melihat dengan tatapan jijik ketika tahu bahwa kami membawa virus mematikan. Pada orang-orang yang katanya
beradab, tapi tidak mau bersentuhan dengan kami.
Adab bukan representasi intelegensi ternyata. Mungkin mereka akan malu sendiri
apabila mengetahui bahwa virus ini tidak akan menular melalui sentuhan. Bahkan keringat,
air mata, saliva dan feses kami bersih darinya. Hanya darah dan sel
telur. Hanya itu. Artinya, jangankan
bersentuhan, berciuman pun kami akan
menyimpan virus itu untuk diri kami
sendiri. Apakah sebegitu susahnya
mencerna informasi sesederhana itu? Atau karena mereka tidak peduli? Memilih untuk tidak peduli pada kami, 40 juta populasi dunia ini?
Aku pernah satu kamar dengan seorang bayi. Ibunya pesakitan.
Maka ketika mengandung, 25% kemungkinan anaknya akan mewarisi virus itu. Dan
memang, ia tidak beruntung. Seketika itu, waktu lahir, semenjak itu pula
diskriminasi terjadi. Ia dipindahkan ke ruangan khusus. Entah bagaimana nasib
hidupnya nanti –kalau ia cukup kuat untuk bisa bertahan selama itu.
Aku sudah kenyang dengan segala macam perlakuan khusus. Yang
katanya demi kebaikanku. Yang katanya memang perlu penanganan khusus. Yang
katanya perlu memiliki ruang privat tersendiri. Sebulan dua bulan, aku masih
percaya. Keluargaku. Mereka yang mengatakan padaku hal-hal itu. Ayah ibuku
masih sering mengantar buah-buahan. Setelah itu? Nihil. Hanya tagihan tiap
bulan yang selalu lunas. Cuma itu. Mungkin nanti ketika saatnya tiba, aku hanya
akan berakhir di kamar mayat. Maksimal dikremasi. Lalu abunya dibuang. Mereka
pasti malu jika ada nisan pesakitan yang “membawa aib bagi keluarga”. Aku
memang sudah melepaskan semuanya. Aku sadar kita memang benar-benar hidup
sendiri. Persetan lah dengan hubungan keluarga, relasi, sahabat atau apapun
itu. Kekasih yang katanya belahan jiwa pun jijik dengan virus semacam ini. Langsung
ambil langkah seribu ketika tahu. Mungkin ia lupa janji-janji manis yang pernah
saling kami lemparkan. Kini aku mengingatnya hanya sebagai hal yang lucu. Ironis.
Pandanganku menyapu ruangan itu. Hanya pasrah menanti waktu.
Pasrah menerima suntikan antibodi dua hari sekali, yang entah apa gunanya.
Detak jarum jam beradu dengan suara lirih monitor jantung.
Tik-tok tik tok. Tit.. tit.. tit.. tit.. tit..
Suara teror bagiku. Seolah dikejar waktu. Itu kenapa aku
lebih memilih untuk bersembunyi di balik earphone
ini.
Tahun terakhir prediksi dokter. Aku menghabiskannya dengan
mengingat dan menulis. Paling tidak, dengan mengenang, nantinya aku bisa
bercerita bahwa pernah hidup. Pernah menjalani kehidupan.
“If I die tomorrow
I'd be alright
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on”
Alunan lagu itu mengantarkanku pada rasa kantuk yang luar
biasa.
Pemutar lagu yang tergeletak di atas dadaku layarnya berkedip.
Baterainya redup.
Depok, 14 September
2014
09.33
*lirik lagu “Spirit Carries On”, Dream Theater