Friday, October 26, 2012

Jus Jeruk

Bangun siang, nyaur utang tidur kemarin.

Ngumpulin nyawa bentar. Nginget-inget ini hari apa. Terus liat hp. Ada sms dari Ibu.
Ibu sama Nandha & dek Cha lagi dalam perjalanan ke Jember.

Sementara Bapak di Jogja dalam istirahatnya.

Saya? Tentu di depok. Sendirian di kamar kosan menikmati long weekend sebelum minggu UTS jahanam. *terus keinget* *terus bete*

Di luar berisik banget. Mbak Sanem, ibu kosan saya sedang ada kumpul dinasti tampaknya.
Oh iya ini hari raya Idul Adha. Toa masjid sebelah juga ga berenti2 mengumandangkan shalawat.
Di depan banyak anak2 kecil main pasir. Sambil nunggu daging kurban kali ya.

Setelah nyalain rokok, saya kebelakang. Ke kamar mandi.
Ternyata dinasti mbak Sanem lagi pada bebakaran di halaman belakang.
Sodara-sodara mereka pada dateng.

Sekembalinya dari kamar mandi, saya menunda kepergian saya untuk mencari sesuap nasi demi menulis postingan ini.

Sakti banget ya atmosfir hari raya itu? hehe

Saya ga tau ini apa namanya. Tapi kerasa banget. Suasana kumpul-kumpulnya (meski saya tidak mengalaminya kali ini). Tapi tetep kerasa.

Sebenernya kalo dirumah pun juga ga bakal ada apa2 sih.
Tapi at least kumpul. Sama Bapak, Ibu, Nandha dan dek Cha.

Mungkin ini hari raya pertama yang kami lewati secara parsial.
Yep, literally, partial. Terpisah di tiga ruang yang berbeda.

Terus?
Ya udah sih. Cuma tiba-tiba kepikiran buat nulis aja. Huehehehe.
Segini aja ya, mau cari makan dulu nih.

Sebenernya saya ga pernah tau ada alasan filosofis apa dibalik hari raya kurban. Yang saya tau kurban itu satu-satunya hari genosida halal dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Hehehe. Kalo ada yang tau cerita sebenernya, boleh dong saya diceritain biar tau.........
but anyway..
Selamat hari raya Idul Adha, semoga menjadi berkah buat semua, amin!

Oh iya melalui post ini saya juga mau nitip cium jauh buat 2 orang yang saya sayangi, yang saat ini lagi ada di rumah sakit untuk memulihkan kesehatan. Cepat sembuh ya kaliaaaaaan :*


Terus kenapa judul post nya Jus Jeruk?
Karena saya tadi liat botol jus jeruk di meja.
Gitu doang sih.

Cheers!

Thursday, October 25, 2012

'Pendidikan'

Kalau kita harus belajar untuk bisa sekolah,
bagian mana dari pendidikan yang kausebut dapat memanusiakan?

Monday, October 8, 2012

Surat Yang Tak Pernah Sampai.

"I walk alone in the beach sand, and I don't know which way to go.."

Sekarang langit senja sudah memerah, Sya. Ia selalu tampak tersenyum. Aku berjalan meniti garis bersama bulir pasir dan deburan ombak. Ya. Tempat-wajib-Sabtu-minggu-ke-empat kita. Entah kenapa aku masih ingin mampir ke sini. Meski tanpamu.

Mungkin karena hanya di sinilah aku bisa menganggapmu ada. Dan menghabiskan sejengkal waktu untuk melupakan kesehari-harian. Pada titik ini, aku yakin kamu sudah memasang ekspresi datarmu yang tersohor itu karena sudah mual mendengar kisah permusuhanku dengan rutinitas. Tapi dalam mode datar pun kau tetap bisa menghafal tiap detil kisah itu. Dan aku selalu kagum dengan "kemampuan"mu ini.

"..I left my heart in this island, but I should take it slow.."

Hei, kau tau? Mungkin apa yang pernah kau sampaikan di ujung perjumpaan kita memang benar, Sya. Hatiku sudah membiru. Terkunci rapat di tempat yang bahkan aku sendiri tak mampu menggapainya. Cuma kau dengan keceriaanmu saja yang dapat menemukannya. Tanpa peta dan kompas. Sejak kutahu cuma kamu yang punya kuncinya, aku tidak pernah tergesa-gesa untuk membukanya. Tahu kenapa? Karena kuyakin kamu pasti datang, membukanya di saat yang tepat, mengobrol dengannya, dan menguncinya lagi saat ketika memang ia ingin kembali.

"..Now I go straight to the ocean, swimming and dancing in the sea.."

Aku masih ingat betul bagaimana dengan mudahnya air matamu meleleh ketika melihatku tersengat ubur-ubur waktu itu. Memang sabtu di bulan Juli tidak pernah bersahabat dengan kita, para pecinta air. Aneh juga, ketika yang dinaungi Aquarius cuma kamu, tapi aku ikut hanyut untuk mencintai air juga. Kalau mode datarmu keluar jika aku mulai berceloteh mengenai permusuhanku dengan rutinitas, milikku akan keluar ketika kau menceritakan betapa besar cintamu terhadap air.

"Kenapa kamu suka ke pantai?" tanyaku waktu itu.
"Karena aku suka air. Dan air laut itu air hidup.. Ngga kaya air hujan. Mati." jawabmu sambil memandang jauh.
"Bukan mati dong.. Kamu tau syarat sebuah benda untuk bisa dikatakan mati?"
"Ah mulai deh..ngga tauuuuu, ngga mau tauuuuuuuu." katamu sambil menutup telinga dengan wajah jutek.
"Mati itu berarti dia pernah hidup. Ya kan? Sedangkan kalo kamu menyebut air hujan mati, berarti dia pernah hidup dong?" lanjutku sengaja memancing keributan.
"IYAAAAA IYAAAA TERSERAAAAHHH."

Kemudian kita hanya tertawa. Tertawa dan tertawa memecah suara deburan ombak senja.

Katamu air hujan tidak hidup seperti air laut. Tapi tetap saja girangmu tak bisa ditahan ketika melihat hujan. Seperti seorang groupies yang bertemu rockstar idola. Dan kau tak pernah memikirkan yang lain ketika memuja hujan. Masih ingat ketika kau memaksaku untuk menemanimu berlari-lari di tengah hujan di depan rumahmu? Padahal 5 menit sebelumnya kau mengeluhkan pilek yang tak kunjung sembuh. Lalu esoknya terpaksa aku harus menjagamu yang demam? Yang ingusmu jadi senjata ampuh buat menakutiku? Yang sejak saat itu aku phobia ingus? Ingat kan? Ah, mana mungkin kau lupa, Sya.

"..Hey don't worry i'll find my way home, back to you and our family.."

Andaikan aku masih bisa kembali. Bersamamu. Mungkin hari ini pun kita akan datang berdua kesini. Setelah berburu cilok kesukaanmu itu, seperti biasanya. Mungkin kita akan saling tidak memberi kabar, namun selalu bertemu di waktu dan tempat yang sama, seperti biasanya. Mungkin kita akan selalu menunda waktu kepulangan karena masih belum sepakat tentang jumlah bintang yang bertaburan di langit malam itu, seperti biasanya. Mungkin. Ya. Mungkin.

Mungkin kau masih menungguku. Iya kan, Sya?
Tenang saja, aku pasti akan kembali.

"..I'm trying to be strong, I'm here standing alone
..But it's time for me to face the future.."

Tadinya, kukira masa depanku adalah apapun yang bersamamu. Tapi garis hidup menggambarkannya secara berbeda, ternyata. Bahkan ia yang sekarang terlalu asing buatku. Hidupku sudah tak sama lagi, Sya. Aku sudah berkawan dengan kesunyian. Kebal sepi dalam keramaian. Tapi yang aku yakin paling melegakanmu: aku sudah berhenti merokok. Iya, Sya. Aku berhenti merokok. Dan alasannya bukan karena marahmu. Atau lelahku membohongimu.

Dulu, tak bisa kubayangkan duduk sendiri. Sampai beberapa jam berlalu. Tanpa ditemani nikotin.
Sekarang, bahkan tak ingin aku merasakannya mampir di kerongkonganku. Aku lebih ingin kau yang mengendap di paru-paruku. Supaya bisa selalu ada dalam tiap hembus nafasku.

Ini semua karena kamu, Sya.
Siapa yang mengira, hari besarmu datang jauh sebelum kau tahu.
Sebelum aku siap ada tanpamu?

"..I promise to come back, and I hope that you remember me.."

Angin senja berhembus kencang. Suara ombak masih menjadi harmoni paling merdu yang mungkin ada. Langit semakin merah. Semburat kuning matahari memberi aksen indah pada cakrawala.

Ya. Di sinilah aku sekarang. Duduk di atas pasir. Dengan kaki yang sesekali disentuh ombak. Bersama dengan 4 kaleng bir yang sudah kosong.

Entah apa yang membuatku ingin menulis surat ini. Tapi aku ingin. Meski tak tahu mengapa.
Tadinya kurencanakan hanya sebaris-dua baris isinya. Sekedar mengobati kangenku bercakap denganmu. Namun ketika akhirnya jadi sepanjang ini, tak apa lah. Toh panjang ataupun pendek, kutahu bahwa surat ini tak akan pernah kau baca. Tak akan pernah bisa sampai ke tanganmu.

Aku juga tak tahu mau kuapakan surat ini setelah jadi. Mungkin kukubur dalam pasir, berharap suatu saat nanti kau kan datang dan menemukannya (meskipun aku tahu betul kau tak kan bisa). Atau mungkin akan kulipat menjadi perahu kertas kemudian kuhanyutkan ke laut? Ah, ini bukan novel Dewi Lestari. Lagipula, surat ini bukan untuk Neptunus.

"..I promise to come back, and I hope that you remember me..
........as yours."



*Song lyrics taken from "Remember Me" - Endah n Rhesa

Depok, 8 Oktober 2012
00.04




Wednesday, October 3, 2012

Boneka

Mereka duduk berjejer di sebuah meja bundar.
Dengan bentuk kepala yang berbeda-beda.
Raut wajah yang tak biasa.
Memegang tali yang berbeda-beda pula.

15 rupa, 42 gesture, dan 76 emosi
Bisa dirangkum dalam sebuah kata
Kepribadian.

Duduk bersama, dengan posisi masing-masing.
Ada si bengal yang tidak bisa diam,
si Pandai yang terus membaca buku,
si Cerewet yang terus berbicara,
si Cantik yang terus berkaca,
si Setuju yang terus manggut-manggut.

Duduk bersama, dengan posisi masing-masing.
Bukan untuk makan malam.
Meskipun hari sudah terlalu larut untuk dapat dikatakan malam.
Namun tak ada yang enggan untuk sekedar duduk dan ada.

Duduk bersama, dengan posisi masing-masing.
Berbicara melampaui bahasa.
Saling berpendapat tanpa mengumpat.
Sampai akhirnya dirasa sepakat.

Meskipun tetap tidak ada yang sadar, bahwa mereka adalah boneka.


Depok, 3 Oktober 2012
08.21