Wednesday, August 21, 2013

Janji

Cahaya semburat keemasan itu kini jatuh menutupi dadaku. Seolah melapisinya dengan warna emas yang menyilaukan. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan stabil 40km/jam. Lagu "One" milik depapepe sudah setengah jalan mengalun di gendang telingaku. Tiba-tiba cahaya itu hilang. Langitnya mendung, tapi tidak terlihat ingin memuntahkan hujan.

Setiap kali, selalu sama. Setelah jalan panjang dengan sawah di kiri-kanannya, tikungan ke kiri, tempat pembuangan sampah di kanan jalan, pemutar laguku seolah mempunyai auto-pick. Dan entah kenapa, yang dipilih adalah One. Mungkin lagu ini memang akrab dengan tempat ini. Aku pernah menggunakannya sebagai lagu kemenangan waktu itu. Waktu aku berjalan kaki dari sekolah ke rumah untuk merayakan kelulusanku. Ya, mungkin pemutar musikku juga terkenang dengan peristiwa itu.

Melewati jalan ini seperti melewati lorong waktu. Dimana semua kenangan terpasak di kiri-kanannya.

Hehehe. Aku tertawa kecil.

Aku bukanlah  seorang penggemar berat kenangan. Tapi melihatnya selalu menerbitkan senyum di sudut bibirku. Kuperlambat laju sepeda motorku. Aku melihat ke kiri dan kanan. Menikmatinya. Semua fragmen  kenangan itu dibalut dengan frame ukiran kayu yang sangat indah. Seperti ukiran kayu kereta kencana milik raja-raja di tanah jawa terdahulu. Huahaha. Aku kembali tertawa. Bahkan alam bawah sadarku menghiasnya dengan sedemikian rupa. Memang semua hal ini tidak bisa lepas dari diriku ternyata.

Kulihat ke atas, angin timur telah meniup jauh awan yang tadi menyelimuti matahari. Kini ia terlihat jelas. Megah, menguasai samudera langit biru dengan sinarnya.

Aku mengamatinya dengan seksama sambil menyeka bulir keringat di dahiku. Kau terlalu panas kali ini, sobat. Sebentar kemudian aku mengucapkan salam perpisahanku padanya.

"Aku pergi dulu. Tidak tahu kapan akan kembali lagi. Kutitipkan padamu segala yang pernah ada padaku di tempat ini. Kuharap kau benar-benar menjaganya, agar kelak aku bisa kemari lagi dan merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan sekarang ini. Di sini."

Ia diam saja. Aku mengartikannya sebagai iya.
Kalaupun tidak, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Waktuku memang sudah habis di sini.
Kulihat jalan di depanku. Pemutar musikku sudah tidak mengeluarkan suara. Sepertinya baterainya habis.
Kini cahaya semburat keemasan itu menimpa punggungku. Aku membelakangi semua yang pernah aku hadapi. Kupacu laju sepeda motorku.

Aku pergi dari tempat ini. Dengan sebuah janji untuk kembali. Suatu hari nanti.