Sunday, January 10, 2016

Pelarian 12 Menit

“Kata orang, mencintai itu butuh ketulusan.” Itulah kalimat yang dari tadi menggema di kepalaku. Sore ini udara cukup cerah. Tempatku duduk teduh, dipayungi oleh rimbunnya daun beringin besar –yang konon katanya, sudah ada di tempat itu ribuan tahun lamanya. Ia memang jadi yang terbesar di sini. Sisanya, hanyalah pepohonan cemara yang tidak terlalu besar ukurannya. Ada juga beberapa batang pohon muda yang terlihat baru ditanam. Mungkin bekas kegiatan-tanam-seribu-pohon oleh kumpulan mahasiswa aktivis lingkungan, yang memang gencar dikampanyekan akhir-akhir ini di area kampus. Pohon beringin itu menyediakan kursi alami, atau sekedar tempat menyandarkan kepala untuk melepas penat. Seperti yang sedang kulakukan sore ini. Duduk, menyandarkan kepala di akar-akar besar pohon beringin. Tempat ini selalu sepi, jauh dari keramaian. Mungkin inilah alasan utama bagiku untuk menjadikannya sebagai tempat melarikan diri dari hiruk-pikuk kegaduhan kampus.

Bukankah mencintai itu sederhana? Orang-orang itu selalu mengucap cinta. Ringan. Namun apakah mereka sadar bahwa mencintai tidak semudah mengatakan “aku sayang kamu”? Tertimbun ribuan konsekuensi logis di bawah penggalan kalimat populer itu. Memang, kesederhanaan selalu dikejar oleh mereka yang sedang dimabuk cinta. Love last when we managed to keep it simple, katanya. Tapi apakah memang sesederhana itu? Kurasa tidak.

Kualihkan pandangan ke atas, mencari sinar matahari yang sesekali berhasil menembus lebatnya daun yang ditiup angin sore. Suara gemertak ranting yang beradu akibat tiupan angin membuatku tersenyum. Mungkin itu adalah terapi bunyi paling mujarab buatku. Menjadi sebuah kemewahan bagiku bisa mendengar suara semacam itu di tengah bisingnya lalu-lintas kota sehari-hari. Suaranya indah. Terdengar natural. Tidak dibuat-buat.

Mungkin aku lelah dengan sesuatu yang dibuat-buat. Mengingat obrolan siang tadi, aku menyerah menjadi orang yang (seolah-olah) siap mencintai. Jika ketulusan dibutuhkan dalam mencintai, aku siap. Namun tak pernah terpikirkan olehku bahwa ia bukanlah syarat tunggal. Ternyata tidak cukup mencintai hanya bermodalkan ketulusan. Pertahananku selama setahun belakangan, gugur seketika akibat obrolan 27 menit siang tadi. Aku selama ini merasa siap untuk mencintai. Aku merasa selama ini telah memperjuangkan apa yang memang pantas untuk diperjuangkan. Namun ternyata, lelah adalah satu titik dalam hidup yang tidak terelakkan. Dan ternyata, perjuangan terbesar adalah melepaskan apa yang selama ini kita coba pertahankan. Sulit rasanya. Tapi apa mau dikata. Melepas topeng kesiapan, paling tidak memberiku kelegaan yang luar biasa. Menurunkan palang imajiner yang selama ini coba kukejar, entah demi aktualisasi diri, atau manifestasi alam bawah sadar, aku tidak tahu. Yang jelas, perasaan lega setelahnya menjadi gejala kebahagiaan yang utama.

Sapuan angin kali ini begitu keras, hingga menggugurkan banyak daun kecoklatan ke tanah. Alam seolah ingin bergabung dalam pergulatan pikiranku.

Aku membayangkan cinta, dan aktivitas mencintai, adalah hal casual. Menyehari. Jadi menurutku nonsense apabila ada orang putus dengan alasan “bosan”. Bagaimana mungkin kamu mengharapkan cinta tidak membosankan? Bosan menurutku adalah implikasi dari cinta. Atau sama halnya dengan orang yang sudah lama berpacaran, kemudian mengklaim bahwa kadar sayang-nya turun dibandingkan ketika baru pacaran. Maybe you just didn’t love her from the very first time, man. Seharusnya ketika memutuskan untuk berpacaran, kita sudah memproyeksikan bahwa bosan, b-o-s-a-n merupakan konsekuensi logis dari afektivitas kita kepada seseorang.

Aku sudah siap dengan bosan. Itu adalah peryataan diri setahun yang lalu. Dan terus begitu. Sampai hari ini. Sampai siang tadi.

Siapa sangka yang menggugurkanku adalah tuntutan? Tuntutan untuk tidak begini, jangan begitu, harus menganu, sebaiknya mengini. Bukankah cinta ternyata, pada saatnya, akan melahirkan benih-benih tuntutan semacam itu? Benih itu yang akan merongrong kemerdekaanku terhadap tubuhku. Kalian bisa menyebutku pecundang, tidak berani mengambil konsekuensi. Tapi paling tidak, aku yang tahu diriku. Aku yang tahu kapasitasku. Setidaknya aku belum siap untuk dituntut –bukan tidak.
“Wuahahahaha.” Aku menertawakan diriku sendiri. Siapalah aku ini coba membuat teori tentang cinta. Mungkin semesta juga ikut menertawakan. Satu dentum aksidental di ujung kuku kakinya, kumaknai secara (sok) mendalam dengan argumentasi yang kental subjektivitas. Padahal dentum itu tidak bermakna pada arus putaran semesta. Semua tetap berjalan seperti biasanya.

***

Langit telah memerah. Matahari siap berpulang ke peraduannya di balik cakrawala.
Kunyalakan sebatang kretek dan bangun untuk bergegas pulang. Saatnya melanjutkan kehidupan.



Depok, 11 September 2014

23.07