Saturday, February 17, 2024

Semarah Itu

Jumat, 16 Februari 2024, jam 18.00, kondisi masih di kantor utk menunggu hilal untuk pulang. Scroll2 IG, ada story @kiranakarang yg mengunggah postingan harian kompas tentang aksi kamisan.


Melihat komen2nya, seketika triggered. Patah hati. Mual. Emosi.


A demon woke up inside of me. Yang selama ini mencoba untuk diam dan tidak terlalu banyak berkomentar serius tentang pilpres. Aku percaya semua orang have a thing that they really hold close in their heart. Yang ga bisa disenggol dikit. Mine? human rights. Kenapa? Karena itu satu dari sedikit (if not the only) hal di dunia yang absolut, baik, dan inklusif. You cannot really oppose human right. Akal sehat bro. And these comments really pissed me off. Yang tadinya udah kepikiran pulang, kemudian ngulik2 lagi untuk memberikan respon di IG story.

quote by Marx, Economic and Philosophical Manuscripts of 1844



Mocking Kamisan is off the line. Apalagi mengaitkan dengan konteks sedangkal pilpres. "Kalo paslon lain yg menang ga bakal demo gini". Bro, 2007, dari jaman SBY presiden. Dari wapresmu umur 20 tahun masih kuliah ngejar IPK 2 koma itu, aksi Kamisan ini sudah ada. Di hati kecil aku tahu bahwa ini komen2 buzzer, bagian dari mesin propaganda pihak2 tertentu. Yang on default buatku tidak perlu ditanggapi. Tapi ini entah kenapa benar2 triggering.

So many issue you guys can play with, but playing with human rights, you will awoken a different breed of social movement. We will show you what a real silent majority is. And there will be a moment where we won't be silent anymore. I dare you, I double dare you.

98 Soeharto bisa diturunkan karena banyak orang "kesenggol" karena masalah KKN, otoritarian, kekacauan ekonomi yang menyebabkan harga bahan2 pokok melambung tinggi. Masalah melahirkan kegelisahan, kegelisahan melahirkan amarah, amarah melahirkan urgensi untuk turun ke jalan. Hanya saja, kembali pada kalimatku di atas, trigger orang beda2. Kamisan ini juga lahir dari peristiwa 98. Bayangkan aja, sebagai seorang ibu, anakmu pamit dari rumah untuk kuliah. Lalu ia ikut berjuang di jalan untuk hal yang benar, menuntut perubahan ke arah yang lebih baik. Bahkan ia berperan sebagai medis, membantu para para demonstran yang dihujani tembakan dan gas air mata. Lalu ia tak pernah pulang. Ditembak peluru tajam di dada kiri. Bagaimana perasaanmu sebagai ibu? Anak yang kamu lahirkan dari rahimmu, diperlakukan seperti itu, tanpa ada pertanggungjawaban. Tanpa ada permintaan maaf. Bahkan ketika kamu memutuskan bersekutu dan berdiri diam, melakukan aksi damai setiap kamis sore selama 805 minggu (dan masih akan terus bertambah) di depan istana negara. Simbol dari kekuasaan yang sudah seharusnya bertanggung jawab terhadap itu. 17 Tahun, tidak sekalipun, siapapun yang berkuasa sudi untuk sekedar menyeberang jalan dan menemui mereka. Lalu ini ada remah-remah gorengan warteg ngetik dengan enteng "masih aja terjebak masa lalu, gimana mau maju kalo mikir masa lalu terus". Stunting abis.

Di tengah kegeramanku kemarin, iseng kutanya teman kantorku, pemuda kelahiran 1998 pemilih prabowo, apakah dia tau Kamisan atau engga. Engga tahu ternyata. Aku terdiam. Mungkin benar, survey yg bilang pemilih prabowo justru banyak dari kalangan anak muda. Mereka baru lahir, atau bahkan mungkin belum, ketika peristiwa 98 terjadi. Mereka tidak pernah hidup di era orde baru, di mana kebebasan untuk sekedar berkumpul, berbicara dan berserikat itu jadi hal yang mewah. Perkara bawa buku tentang marxism ke sekolah bisa jadi masalah besar yang mengancam nyawa. Sekarang aku bisa dengan bebas diskusi tentang hal-hal itu di kantin kantor. Bisa bawa dan minjemin buku-buku filsafat ke temen kantor untuk berbagi ilmu. It is a previledge of democracy. Yang bisa kita nikmati karena dulu ada orang2 yang berjuang untuk itu. Bertaruh nyawa. Tidak sedikit, mengorbankannya, seperti Wawan yang ibunya selalu ada di aksi Kamisan itu. Itu yang kita sering lupa di tengah kesibukan kita untuk bertahan hidup sehari-hari. Kita yang mengalami saja sering lupa, bagaimana dengan yang tidak pernah mengalami, seperti temanku tadi. They cannot even imagine.

As much as having a president who used as a genocide case study on Yale University is concerning for me, this is not about the person.

Bukan masalah orangnya, tapi apa yang dia lakukan, apa yang dia simbolkan dari kelakuannya. Because we need to trust people from what they do instead of what they said. Ini yang menurutku masih jadi akar masalah politik praktis di Indonesia. Semuanya masih fokus pada person. Bukan ideologi dan gagasan yang dibawa. Semua partai politik juga "figur"atif. PDIP = Megawati, Nasdem = Surya Paloh, Demokrat = SBY, dst dst. Ideologi partai itu jadi sekedar buzzword. Demonstrasi ideologi paling bagus justru dari partai seperti PKS malah. Seperti menolak RUU TPKS, as jerk as it may seem for some of us, tapi ya mereka konsisten. Itu posisi yang paling dekat dengan ideologi islamic state yang mereka tawarkan. Homogen, serba mengekang dan patriarki. At least mereka konsisten. I respect them, dalam koridor demokrasi. Jadi sekali lagi, ini bukan tentang personnya. Tapi pejabat publik, apalagi presiden, harus bisa dilihat bukan sebagai individunya, tapi visi misi, gagasan, sektor apa yang mau dia fokuskan, masalah apa yang dia bisa (atau mau) selesaikan. "Jokowi bisa ikut kampanye tapi harus izin cuti pada presiden", selucu dan seabsurd apapun kedengarannya, merupakan contoh dari distingsi presiden sebagai individu, dan jabatan publik.

Dalam konteks dangkal pilpres, siapapun yang menang, lagi-lagi rakyat yang kalah. Apalagi kalau wacana "merangkul semua unsur" mau dilakukan seperti Jokowi periode 2 playbook. Semua dikasi kue. pemerintahan tanpa oposisi. Demokrasi ugal-ugalan.

I am fully aware that I am previledged to write things like this. Laki-laki, orang Jawa (oh I know for sure banyak teman2 keturunan tionghoa yang SANGAT menahan diri untuk berkomentar. Ditahan oleh apa? trauma. Trauma dikorbankan dan menjadi kambing hitam. I know a friend in office who didn't come to office H+1 pilpres karena dia naik transjakarta melewati monas) belum berkeluarga, belum punya anak, tingkat ekonomi ya lumayanlah (ga perlu mikir nanti malem gimana caranya supaya bisa makan). I have nothing to lose (well kinda, Aura marah ni klo baca begini2 wkwkwk). Tapi sampai saat ini, aku masih menahan diri untuk terjun di politik praktis (who knows in the future). Doakan saja aku bisa jadi walikota Jogja 5 tahun lagi, lalu maju jadi cawapres di umur 39. Let's gooooooo. Jokes aside, mungkin sama seperti banyak dari kalian, yang sama-sama geram atas semua ini, tapi bisa apa ya? di tengah kesibukan sebagai kroco mumet mengais rejeki setiap hari. Here's what I can think of:

Fokus pada fitrah sebagai rakyat: awasi, kontrol. Kalo ada yang offside (depends on your trigger), suarakan. Lawan. Dari banyaknya respon di dm atas kejadian kemarin, aku yakin masih banyak orang yang punya akal sehat. Inilah silent majority yg sebenar-benarnya.

visi misi Prabowo - Gibran

Ini visi misi presiden kita nanti. Pelajari dengan baik, supaya bisa menagih. Jangan sampai berakhir hanya sebagai janji. Segelap-gelapnya demokrasi kita sekarang, aku masih percaya ada harapan. Sambil memelihara kegelisahan. Karena dengan memelihara kegelisahan, maka kita memelihara kehidupan.

Jakarta, 17 Februari 2024
11.36




No comments:

Post a Comment