Jakarta itu penuh dosa
Jakarta berhak untuk macet
Jakarta berhak untuk orang-orang yang menjadi sarden di kereta
Yang rumahnya di Parung tapi kantornya di SCBD
Jakarta berhak untuk tanah semeter 60 juta
Jakarta berhak untuk polusi
Karena ia rumah dari 23 juta kendaraan bermotor
Yang sampai-sampai harus diatur
Mana yang boleh, mana yang tidak
Dari ganjil genap nomor belakangnya
Sehingga orang akan punya dua
Untuk bisa dipakai setiap hari
Jakarta itu tidak manusiawi
Sampai-sampai Seno membuat esai
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” (Menjadi Tua di Jakarta- Seno Gumira Ajidarma)
Ia dibilang penyangga perekonomian negara
Padahal lebih ke arah disanggakan
Kisah klasik sentralisasi
Di mana yang dipinggir ya karena memang dipinggirkan
Sampai waktu itu, ada kementrian desa tertinggal
Karena toh 70% uang di republik ini
Hanya berputar di satu jalan itu saja
Mulai dari Bundaran HI
Lewat Mid Plaza
Mentok-mentok ke Senayan
Mampir ke kantong-kantong perwakilan
*
Makanya aku heran pagi-pagi
Karena Jakarta tidak berhak atas langit seindah ini
Sebenarnya aku ingin bengong melihatnya lama-lama
Tapi aku terburu-buru
Kulangkahkan kaki dengan cepat
Sambil mematikan rokok
Untuk segera tap in dan daily standup
Jakarta, 19 Maret 2024
20.12
No comments:
Post a Comment