Saturday, December 22, 2012

Buat Ibu

Kalau orang datang padaku dan bertanya,
"Bagaimana caramu menyayangi Ibumu?"

Aku hanya akan menjawab,
"Sesederhana Ia yang tak henti-hentinya memintaku untuk melakukan apa yang aku suka."

Kalau bagimu Ibu adalah Ia yang melahirkanmu,
Buatku, Ibu adalah nurani di luar diriku.

Love you, Mom!
Untuk Ibuku,
I Gusti Ayu Wiryaningtyas Kusumawardhani
atas segalamu yang boleh ada buatku.

Friday, December 14, 2012

Alasan

Barangkali
Mereka bisa melihat kamu sebagaimana dirimu ingin dilihat
Tapi aku tahu
Mana yang memang benar kamu
Mana yang cuma senyum palsu

Barangkali
Mereka tak mengerti
Jalan macam apa yang telah kau lalui
Untuk bisa sampai di sini
Apakah penuh kerikil
Atau tak beraspal sama sekali

Barangkali
Kau punya dunia indahmu sendiri
Yang tak ingin kau bagi
Karena kau tahu orang takkan mengerti
Apalagi peduli

Barangkali
Kau bilang kau tak pernah berharap
Tapi siapa tahu
Harapanmu punya bentuk yang berbeda
Harapanmu muncul dalam sorot matamu yang sayu
Atau bibir yang kerap mengucap rindu
Atau airmata yang meleleh dalam setiap pilu

Barangkali
Telah tak terhitung waktu yang kau lalui
Bersama luka perih yang tak kunjung sembuh

Barangkali
Kau tidak tahu
Bahwa setiap kalimat kutukan terhadap dirimu
yang keluar dari mulutmu
Juga mengenai bagian dari diriku

Barangkali
Setiap mati yang ingin kau wujudkan
Menjadi sebuah impian yang ku selalu ingin gagalkan

Barangkali
Aku belum cukup kuat
Untuk menjadi tempatmu berpegang
Tapi biarlah kau berpegang pada hidup itu sendiri
Sampai waktuku tiba untuk mampu menggantikannya

Barangkali
Setiap tawa yang terukir
Atau tetes air mata yang mengalir
Adalah kalimat perangkai
Yang mengingatkan bahwa kamu tak pernah sendiri

Barangkali
Waktu akan membuktikan diri
Sebagai katalisator proses yang abadi
Sampai kita benar-benar menjadi
Utuh dalam setiap pribadi

Barangkali
Kau punya alasanmu sendiri
Terhadap semua sikap dan keteguhan hati

tapi barangkali
Aku hanya ingin menjadi sebungkus top extra large
Atau anak kucing yang sedang bermain dengan dirinya sendiri
Agar bisa menjadi alasanmu untuk hidup
Dan tetap ada.

Tuesday, December 11, 2012

Balasan

"Kenapa kamu suka ke pantai?" tanyaku waktu itu.
"Karena aku suka air. Dan air laut itu air hidup.. Ngga kaya air hujan. Mati." jawabmu sambil memandang jauh.
"Bukan mati dong.. Kamu tau syarat sebuah benda untuk bisa dikatakan mati?"
"Ah mulai deh..ngga tauuuuu, ngga mau tauuuuuuuu." katamu sambil menutup telinga dengan wajah jutek.
"Mati itu berarti dia pernah hidup. Ya kan? Sedangkan kalo kamu menyebut air hujan mati, berarti dia pernah hidup dong?" lanjutku sengaja memancing keributan.
"IYAAAAA IYAAAA TERSERAAAAHHH."

Kemudian kita hanya tertawa. Tertawa dan tertawa memecah suara deburan ombak senja.

***

Mungkin waktu itu kamu cuma lupa.
Bahwa air hujan pernah hidup.
Karena ia juga berasal dari asinnya laut.

Utopia

Ada satu tanah.
Yang punya banyak kisah.


Ini bukan tentang sebuah.
Apalagi semesta yang meruah.


Ini hanya tentang Gajah
Yang kebal sudah dengan sengatan Lebah.

Andai bahagia dapat menjadi hibah
Dunia takkan perlu sumpah-serapah.

Andai mencari hormat tak butuh menjual lidah
Aku takkan enggan untuk mengumbar lelah.


Siapa yang butuh Mesiah
Ketika bahagia bisa selalu tumpah.


Kau bilang kita butuh arah?
Sedangkan angin selalu membuatmu goyah.

Kawan, hormat mungkin bisa kau jarah.
Tapi bahagia takkan kau bisa perah dengan merahnya darah.


Saturday, November 3, 2012

(In)formalitas.

Malam ini saya teringat sebuah punchline dari Mbah Seno Gumira Ajidarma.

"Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara," katanya.

Kalimat itu ia jadikan pegangan kala menjadi pemred majalah Jakarta-Jakarta sekitar tahun 1998 silam. Dimana rezim orde baru sedang gencar-gencarnya membredel media-media yang dianggap 'tidak sejalan' dengan mereka. Tidak sejalan dengan apa yang ingin mereka citrakan.

Kalimat tersebut kemudian ia jadikan buku, yang kurang lebih isinya merupakan pertanggungjawaban dari apa yang ia tulis dalam roman 'Jazz, Parfum dan Insiden'. Dalam roman tersebut ia menyelipkan fakta-fakta dari kisruh di Timor Leste dalam masa pelepasannya dari Republik Indonesia. Sisanya adalah roman tentang Jazz. Dan parfum.

Well intinya, Seno memilih jalan lain untuk berbicara kala itu. Ia yang notabene adalah jurnalis, pemimpin sebuah media, tidak ragu untuk pindah haluan ketika jalannya yang biasa diblokir oleh sebuah rezim.

Cerdas. Karena pada akhirnya ia tetap bisa lantang bersuara. Jakarta-Jakarta menjadi satu dari sedikit media yang tidak dibredel, meski Seno sempat harus berhadapan dengan laras senapan. Ya, literally ditodong senapan di dada kirinya. Tapi pada akhirnya, kekerasan memang tidak bisa mematikan kecerdasan. Hihi.

Saya membaca buku itu kelas 1 SMA. Dan cuma bisa melongo setelahnya.

Sekarang saya udah dewasa *ehem*, dan tetap cuma bisa melongo. Sambil tersenyum simpul.

Kenapa? Karena semakin saya ingat kembali, semakin saya memahaminya bukan sekedar sebagai tagline sastrawi. Yang melulu tentang estetika linguistik. Lebih dari itu, ini adalah tentang konsepsi yang radikal. Mendasar, boi.

Jurnalisme itu sarat sistematika. Diksinya, alurnya, segmen bacanya. Semua penuh perkiraan. Semua tentang sistematika (baca: 'formalitas'). Saya jepitkan kata formalitas diantara petik karena formalitas disini bukan yang telah terdistorsi dengan makna negatif, tapi benar-benar formalitas. Sistematika-formal.

Sedangkan sastra? Bahkan ia sering dengan sengaja meng-salah-kan tata bahasanya, demi mengamplifikasi estetika maknanya. Sastra mendobrak segala macam kesahihan struktur linguistik, bahkan alur logis dari proposisi. Bukannya sastra tidak punya marka sistematis, namun ia cenderung mengesampingkan itu untuk mencapai makna yang jauh lebih dalam.

Informalitas ini yang sekarang saya kagumi.
Terkait dengan refleksi saya di kelas, di lingkungan pergaulan, seringkali 'orang formal' bisa terlihat meyakinkan. Sangat menawan dalam orasi, namun tidak punya nyawa dalam berelasi.
Hihihi.
Buat saya, sesuatu yang formal akan jadi bullshit ketika ia hanya menjadi formalitas belaka.
Dan sayangnya, saya memang bukan orang yang bisa mengikuti formalitas dengan setia.
Ibaratnya, kalo formalitas itu pacar saya, entah berapa kali saya udah selingkuh. Hahaha.

Pada akhirnya, ada hal yang tidak bisa diselami oleh formalitas.
Mungkin yang bisa lebih dalam menyentuhnya adalah obrolan hangat, guyonan, atau sebatang-dua batang kretek ditemani segelas kopi hitam di warung kopi.

Makasih Mbah Seno, karena telah mencegah saya terbungkam. Oleh formalitas.
Cheers n beers!


Friday, October 26, 2012

Jus Jeruk

Bangun siang, nyaur utang tidur kemarin.

Ngumpulin nyawa bentar. Nginget-inget ini hari apa. Terus liat hp. Ada sms dari Ibu.
Ibu sama Nandha & dek Cha lagi dalam perjalanan ke Jember.

Sementara Bapak di Jogja dalam istirahatnya.

Saya? Tentu di depok. Sendirian di kamar kosan menikmati long weekend sebelum minggu UTS jahanam. *terus keinget* *terus bete*

Di luar berisik banget. Mbak Sanem, ibu kosan saya sedang ada kumpul dinasti tampaknya.
Oh iya ini hari raya Idul Adha. Toa masjid sebelah juga ga berenti2 mengumandangkan shalawat.
Di depan banyak anak2 kecil main pasir. Sambil nunggu daging kurban kali ya.

Setelah nyalain rokok, saya kebelakang. Ke kamar mandi.
Ternyata dinasti mbak Sanem lagi pada bebakaran di halaman belakang.
Sodara-sodara mereka pada dateng.

Sekembalinya dari kamar mandi, saya menunda kepergian saya untuk mencari sesuap nasi demi menulis postingan ini.

Sakti banget ya atmosfir hari raya itu? hehe

Saya ga tau ini apa namanya. Tapi kerasa banget. Suasana kumpul-kumpulnya (meski saya tidak mengalaminya kali ini). Tapi tetep kerasa.

Sebenernya kalo dirumah pun juga ga bakal ada apa2 sih.
Tapi at least kumpul. Sama Bapak, Ibu, Nandha dan dek Cha.

Mungkin ini hari raya pertama yang kami lewati secara parsial.
Yep, literally, partial. Terpisah di tiga ruang yang berbeda.

Terus?
Ya udah sih. Cuma tiba-tiba kepikiran buat nulis aja. Huehehehe.
Segini aja ya, mau cari makan dulu nih.

Sebenernya saya ga pernah tau ada alasan filosofis apa dibalik hari raya kurban. Yang saya tau kurban itu satu-satunya hari genosida halal dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Hehehe. Kalo ada yang tau cerita sebenernya, boleh dong saya diceritain biar tau.........
but anyway..
Selamat hari raya Idul Adha, semoga menjadi berkah buat semua, amin!

Oh iya melalui post ini saya juga mau nitip cium jauh buat 2 orang yang saya sayangi, yang saat ini lagi ada di rumah sakit untuk memulihkan kesehatan. Cepat sembuh ya kaliaaaaaan :*


Terus kenapa judul post nya Jus Jeruk?
Karena saya tadi liat botol jus jeruk di meja.
Gitu doang sih.

Cheers!

Thursday, October 25, 2012

'Pendidikan'

Kalau kita harus belajar untuk bisa sekolah,
bagian mana dari pendidikan yang kausebut dapat memanusiakan?

Monday, October 8, 2012

Surat Yang Tak Pernah Sampai.

"I walk alone in the beach sand, and I don't know which way to go.."

Sekarang langit senja sudah memerah, Sya. Ia selalu tampak tersenyum. Aku berjalan meniti garis bersama bulir pasir dan deburan ombak. Ya. Tempat-wajib-Sabtu-minggu-ke-empat kita. Entah kenapa aku masih ingin mampir ke sini. Meski tanpamu.

Mungkin karena hanya di sinilah aku bisa menganggapmu ada. Dan menghabiskan sejengkal waktu untuk melupakan kesehari-harian. Pada titik ini, aku yakin kamu sudah memasang ekspresi datarmu yang tersohor itu karena sudah mual mendengar kisah permusuhanku dengan rutinitas. Tapi dalam mode datar pun kau tetap bisa menghafal tiap detil kisah itu. Dan aku selalu kagum dengan "kemampuan"mu ini.

"..I left my heart in this island, but I should take it slow.."

Hei, kau tau? Mungkin apa yang pernah kau sampaikan di ujung perjumpaan kita memang benar, Sya. Hatiku sudah membiru. Terkunci rapat di tempat yang bahkan aku sendiri tak mampu menggapainya. Cuma kau dengan keceriaanmu saja yang dapat menemukannya. Tanpa peta dan kompas. Sejak kutahu cuma kamu yang punya kuncinya, aku tidak pernah tergesa-gesa untuk membukanya. Tahu kenapa? Karena kuyakin kamu pasti datang, membukanya di saat yang tepat, mengobrol dengannya, dan menguncinya lagi saat ketika memang ia ingin kembali.

"..Now I go straight to the ocean, swimming and dancing in the sea.."

Aku masih ingat betul bagaimana dengan mudahnya air matamu meleleh ketika melihatku tersengat ubur-ubur waktu itu. Memang sabtu di bulan Juli tidak pernah bersahabat dengan kita, para pecinta air. Aneh juga, ketika yang dinaungi Aquarius cuma kamu, tapi aku ikut hanyut untuk mencintai air juga. Kalau mode datarmu keluar jika aku mulai berceloteh mengenai permusuhanku dengan rutinitas, milikku akan keluar ketika kau menceritakan betapa besar cintamu terhadap air.

"Kenapa kamu suka ke pantai?" tanyaku waktu itu.
"Karena aku suka air. Dan air laut itu air hidup.. Ngga kaya air hujan. Mati." jawabmu sambil memandang jauh.
"Bukan mati dong.. Kamu tau syarat sebuah benda untuk bisa dikatakan mati?"
"Ah mulai deh..ngga tauuuuu, ngga mau tauuuuuuuu." katamu sambil menutup telinga dengan wajah jutek.
"Mati itu berarti dia pernah hidup. Ya kan? Sedangkan kalo kamu menyebut air hujan mati, berarti dia pernah hidup dong?" lanjutku sengaja memancing keributan.
"IYAAAAA IYAAAA TERSERAAAAHHH."

Kemudian kita hanya tertawa. Tertawa dan tertawa memecah suara deburan ombak senja.

Katamu air hujan tidak hidup seperti air laut. Tapi tetap saja girangmu tak bisa ditahan ketika melihat hujan. Seperti seorang groupies yang bertemu rockstar idola. Dan kau tak pernah memikirkan yang lain ketika memuja hujan. Masih ingat ketika kau memaksaku untuk menemanimu berlari-lari di tengah hujan di depan rumahmu? Padahal 5 menit sebelumnya kau mengeluhkan pilek yang tak kunjung sembuh. Lalu esoknya terpaksa aku harus menjagamu yang demam? Yang ingusmu jadi senjata ampuh buat menakutiku? Yang sejak saat itu aku phobia ingus? Ingat kan? Ah, mana mungkin kau lupa, Sya.

"..Hey don't worry i'll find my way home, back to you and our family.."

Andaikan aku masih bisa kembali. Bersamamu. Mungkin hari ini pun kita akan datang berdua kesini. Setelah berburu cilok kesukaanmu itu, seperti biasanya. Mungkin kita akan saling tidak memberi kabar, namun selalu bertemu di waktu dan tempat yang sama, seperti biasanya. Mungkin kita akan selalu menunda waktu kepulangan karena masih belum sepakat tentang jumlah bintang yang bertaburan di langit malam itu, seperti biasanya. Mungkin. Ya. Mungkin.

Mungkin kau masih menungguku. Iya kan, Sya?
Tenang saja, aku pasti akan kembali.

"..I'm trying to be strong, I'm here standing alone
..But it's time for me to face the future.."

Tadinya, kukira masa depanku adalah apapun yang bersamamu. Tapi garis hidup menggambarkannya secara berbeda, ternyata. Bahkan ia yang sekarang terlalu asing buatku. Hidupku sudah tak sama lagi, Sya. Aku sudah berkawan dengan kesunyian. Kebal sepi dalam keramaian. Tapi yang aku yakin paling melegakanmu: aku sudah berhenti merokok. Iya, Sya. Aku berhenti merokok. Dan alasannya bukan karena marahmu. Atau lelahku membohongimu.

Dulu, tak bisa kubayangkan duduk sendiri. Sampai beberapa jam berlalu. Tanpa ditemani nikotin.
Sekarang, bahkan tak ingin aku merasakannya mampir di kerongkonganku. Aku lebih ingin kau yang mengendap di paru-paruku. Supaya bisa selalu ada dalam tiap hembus nafasku.

Ini semua karena kamu, Sya.
Siapa yang mengira, hari besarmu datang jauh sebelum kau tahu.
Sebelum aku siap ada tanpamu?

"..I promise to come back, and I hope that you remember me.."

Angin senja berhembus kencang. Suara ombak masih menjadi harmoni paling merdu yang mungkin ada. Langit semakin merah. Semburat kuning matahari memberi aksen indah pada cakrawala.

Ya. Di sinilah aku sekarang. Duduk di atas pasir. Dengan kaki yang sesekali disentuh ombak. Bersama dengan 4 kaleng bir yang sudah kosong.

Entah apa yang membuatku ingin menulis surat ini. Tapi aku ingin. Meski tak tahu mengapa.
Tadinya kurencanakan hanya sebaris-dua baris isinya. Sekedar mengobati kangenku bercakap denganmu. Namun ketika akhirnya jadi sepanjang ini, tak apa lah. Toh panjang ataupun pendek, kutahu bahwa surat ini tak akan pernah kau baca. Tak akan pernah bisa sampai ke tanganmu.

Aku juga tak tahu mau kuapakan surat ini setelah jadi. Mungkin kukubur dalam pasir, berharap suatu saat nanti kau kan datang dan menemukannya (meskipun aku tahu betul kau tak kan bisa). Atau mungkin akan kulipat menjadi perahu kertas kemudian kuhanyutkan ke laut? Ah, ini bukan novel Dewi Lestari. Lagipula, surat ini bukan untuk Neptunus.

"..I promise to come back, and I hope that you remember me..
........as yours."



*Song lyrics taken from "Remember Me" - Endah n Rhesa

Depok, 8 Oktober 2012
00.04




Wednesday, October 3, 2012

Boneka

Mereka duduk berjejer di sebuah meja bundar.
Dengan bentuk kepala yang berbeda-beda.
Raut wajah yang tak biasa.
Memegang tali yang berbeda-beda pula.

15 rupa, 42 gesture, dan 76 emosi
Bisa dirangkum dalam sebuah kata
Kepribadian.

Duduk bersama, dengan posisi masing-masing.
Ada si bengal yang tidak bisa diam,
si Pandai yang terus membaca buku,
si Cerewet yang terus berbicara,
si Cantik yang terus berkaca,
si Setuju yang terus manggut-manggut.

Duduk bersama, dengan posisi masing-masing.
Bukan untuk makan malam.
Meskipun hari sudah terlalu larut untuk dapat dikatakan malam.
Namun tak ada yang enggan untuk sekedar duduk dan ada.

Duduk bersama, dengan posisi masing-masing.
Berbicara melampaui bahasa.
Saling berpendapat tanpa mengumpat.
Sampai akhirnya dirasa sepakat.

Meskipun tetap tidak ada yang sadar, bahwa mereka adalah boneka.


Depok, 3 Oktober 2012
08.21

Tuesday, June 19, 2012

Dear Filsafat UI 2011..

YUHUUUUUUUUUUU !!!

It's been a while and I'm already missed you all guuuuys.

Suasana di kelas, ngusilin Wedo, ngobrol di kansas, PES di kosan Deny, nonton film, futsal ceria, ngerjain tugas berjamaah.

Hmm...
Somehow kepulangan gue kemarin agak berbeda rasanya.
Biasanya seminggu sebelum balik ke Jogja, gue akan sangat bersemangat sampai ga bisa tidur, kadang sampe kebawa mimpi kalo tidur. Intinya, ga sabar pulang ke Jogja.

Tapi kemarin?
Ada samanya sih. Ga bisa tidurnya masih tetep. Bukan karena mikirin Jogja.
Tapi kalian.

Sekitar seminggu sebelum balik, gue mendengar kabar bahwa akan ada banyak sekali temen-temen kita yang akan pindah jurusan. Bahkan, lebih dari setengah, katanya, LEBIH DARI SETENGAH.

Hmm perasaan waktu denger kabar itu ga bisa dijelaskan. Ibarat cewe, udah pedekate setaun tapi pas mau nembak ternyata dia jadian sama orang lain. Sakit broooooo. (Engga, ini bukan curhat. Sumpah. Gue ga pernah takut nikung. Hahaha.)

Oke lanjut. Jadi ceritanya gue itu tipe orang yang ga biasa kehilangan temen (meskipun 'cuma' secara jarak). Gue ngga terbiasa berteman dengan cara seperti itu. Ada emosinya juga sih waktu denger. Bagi kalian yang memperhatikan, kamudian gue jadi agak diem. Bukan sok cool (karena udah terlanjur cool sih), tapi gue mikir bro. Terus mau ngapain lagi? Temen seangkatan jurusan segini aja masih sepi, kurang kerasa gregetnya. Apalagi kalo lebih dari setengahnya cabut?

Setelahnya, respon aktif dari otak gue adalah...memperjelas isu itu ke permukaan setiap ada kesempatan. Gue jadi sering mengeluarkan kalimat "Ayolah ikut, yang terakhir nih.." atau kalimat-kalimat provokatif semacamnya. Gue nulis kalimat unyu yang tidak sanggup gue tulis di sini di buku harian kita, pake nempel foto segala hahahahhaha. Berbagai macam reaksi kemudian keluar dari mulut ataupun sekedar gesture kalian. Tatapan mata "Apaan sih lo?!" juga sering gue terima akibat tindakan ini. Hahaha. Maafkan saya ya teman-teman, itu bentuk kepedulian :')

Yah itulah respon reaktif otak gue waktu itu. Tapi setelah jauh lebih tenang dan mikir pake kepala dingin, gue sadar. Gue sadar nggak bisa dan nggak berhak mencampuri hidup kalian sejauh itu. Dan apapun itu, gue harus bisa terima keputusan kalian.

Fiuuuuh. Proses panjang loh itu sampai bisa 'menerima' gitu.
Tapi gue gamau kalian pergi begitu aja tanpa dapet 'sesuatu' di sini.
Gue optimis angkatan ini punya potensi yang besaaaaaarr. Cuma perlu dipoles dikit. Sama dilem deng.
Dengan apa? Dengan rasa saling memiliki satu sama lain. Itu perekatnya. Yang bisa memoles angkatan ini supaya bisa mengoptimalkan potensi yang kita punya.

So, berhubung UAS epistemologi kemaren take home, sekalian aja gue pake sebagai alasan kumpul. Dengan intensi yang berbeda tapi. Kalo sebelumnya gue masih pengen memaksakan kalian buat tetap tinggal, kali ini gue cuma sekedar pengen liat kita bisa kumpul bareng, ketawa barang. Alhasil dengan heroiknya kita sok-sokan ngerjain tugas bareng di perpus. Sebenernya sabi banget itu tugas dikerjain sendiri, di kosan atau rumah masing-masing. Dan bisa jadi hasilnya bakalan lebih efektif (karena pada akhirnya kita di perpus cuma ketawa-ketawa gajelas dari jam 11 pagi -7 malem). Akhirnya gue pun juga tetep harus ngga tidur buat nyelesain itu tugas. Tapi gue seneng malem itu.

Karena apa?

Lem itu sudah mulai bisa menjadi perekat. Yang bisa merekatkan.
Agak susah sih njelasinnya, tapi gue tau. Gue bisa ngerasain. Udah pantes kalo mau dibilang 'keluarga'.
Liat linimasa twitter yang pada ribut ngecengin satu sama lain..
Rasa saling memiliki itu udah ada. Dan gue seneng banget liat itu, guys.

Besoknya, hari selasa. Hari kepulangan gue.

Dengan pasrah ngerjain UAS filsafat Islam dengan mata zombie karena belom tidur ngerjain epis, siangnya UAS mpkt B yang ngomongin sains apa gitu gue ga paham. Setelahnya, gue yang berencana langsung balik kosan buat packing harus tertahan di selasar gd.6 karena ada semacam sesi ngobrol santai sebelum liburan, dengan sebotol AO yang disponsori oleh Icak, rencana karaoke gagal yang sukses membuat Haikal patah hati, dan beberapa topik lain (termasuk sesi memetak-umpetkan tasnya Wedo). Setelah gue wawancara satu-satu, ternyata banyak yang mengurungkan niatnya untuk pindah jurusan. Well, mungkin banyak yang udah terlanjur sayang sama keluarga ini ya hehe

Waktu itu gue baru bisa ngerasa lega. Baru bisa tenang ninggalin Depok, ninggalin kalian.
Karena rasa nyaman itu yang akan bikin gue nantinya akan kangen Depok.
Dan siapa tau nantinya Depok bisa seperti, atau bahkan menggantikan Jogja di mata & hati gue. Mungkin. Siapa tau..

Yang jelas kalian semua udah bikin semua itu jadi mungkin.

Fiuuuhhh. Kalo ada yang bilang semester 2 kemaren adalah sebuah nestapa, kalian punya banyak temen guys, yah setidaknya gue hahaha. Miris liat SIAK yang kali ini. Jadi maksud gue, jangan pernah minder atau mengeluh "Gue ga paham" atau "Gue susah ngejar materinya". Gue juga gitu broooooo. Sama-sama kita pasti bisa lah kalo cuman ngejar nilai.. *sok* hahaha

Kabar baiknya, IP gue diatas 2,5 (jadi besok bisa ambil 20 sks) dan absen filsafat islam gajadi jebol :p
Kabar buruknya, nilai filsafat islam kurang 1 supaya lulus. Sakiiiitttt.

Yah, begitulah sedikit curhatan saya malam ini. Semoga bisa jadi manfaat buat kalian kalian yang membaca.
Oh one last thing, I do really meant it when I said I missed you all, guys :D

Oiya, buat kalian yang akan pindah jurusan, I hope the best for you all.
Semoga menemukan apa yang kalian cari di 'rumah' baru kalian nanti.



...dan jangan pernah lupa untuk berkunjung kembali.
Bukan untuk datang, tapi pulang.



Cheers, HW
Yogyakarta, 19 Juni 2012
01.14



Friday, June 8, 2012

Just Another Sign..

"Yok, pakabar? Sehat to? Gimana acaramu? Agustus ini ya acaranya? Sukses yo Pak.. :)"

"Sehat pak, baru uas nih haha.. Kamu gimana? Ha? Acara apaan bro?"

"Katanya kemaren kamu sibuk sampe Agustus? Oalah sama.. aku juga baru mulai senin kemarin.. Ujian jam berapa Yok? Sinau tenanan yo le.. :*"

"Oh hahaha.. :p ini jam 8 bro..hahaha kamu jam berapa?"

"Kok malah ketawa su? Yowes ujian dulu sana.. aku jam 12.. ntar sore dilanjutin lagi smsnya.. Aku cuma kangen kamu Yok, tadi gitaran di kamar tamu terus lagunya When you Love Someone, langsung inget kamu.. haha.. :("

"Gapapa hehe walaahh.. unyu banget lo sob.. yaudah gue uas dulu ya, hurung sinau nih.."

"Haha.. Biasanya gimana.. Gausah belajar aja udah bisa.. Oke deh bro.. Sukses ya.. :D"


From a little text-converse with Hillario Saktya Pratita
with a couple translation
June 05, 2012

Friday, May 18, 2012

Kata Pak Dokter

"Kamu cuma terkena flu ringan," kata pak dokter.

"Banyak-banyak istirahat, kurangi aktivitas," kata pak dokter.

"Coba sini saya cek tensimu," kata pak dokter.

"Jangan minum es, nanti tenggorokanmu tambah sakit," kata pak dokter.

"Ini obat yang manjur, diminum 3x sehari sesudah makan ya," kata pak dokter.

"Kondisimu sudah membaik," kata pak dokter.

"Obatnya nggak usah diminum lagi, kamu sudah sembuh," kata pak dokter, sehari sebelum kematianku.


Depok, 18 Mei 2012
02.31

Thursday, May 17, 2012

Pintu

Dia bukan pengantar
Dia hanya jalan
Yang harus kamu lalui
Dengan langkah kakimu sendiri.

Wednesday, May 9, 2012

The Grand Design

Well, saya meminjam istilah Stephen Hawking untuk merepresentasikan cara alam untuk memberi tanda. Dan ini sangatlah random. Sangat. Entah apa yang terlintas di kepala, namun saya merasa perlu untuk menuliskannya. Saya percaya bahwa semesta punya mekanismenya sendiri untuk menyampaikan tanda kepada semua yang bernafas di dalamnya. Tanda yang menjadi makna, kalo kata Fahd Jibran. Dan saya juga percaya akan kemampuan manusia untuk mengkonversi tanda itu menjadi sebuah makna. Yang berarti.

...

Jam 12 malam. Ketika saya asyik bergumul dengan Digimon Masters Online, sibuk memilah barang yang akan saya jual. Hp saya berbunyi. Telpon ternyata. Dari nomer tidak dikenal. Well setelah berharap ada suara wanita cantik yang mengajak berkenalan, harapan saya dipupuskan oleh suara lelaki di seberang. Dan saya kenal suara itu.

Jati.

Jati punya nama lengkap Yosep Jati (kalo ngga salah). Saudara bukan sedarah dari jaman SMA. Satu dari sekian banyak orang yang wajib menghabiskan malam Jogja bersama saya. Sekarang dia kuliah di jurusan Ilmu Ekonomi UGM. Putra daerah Kalibawang, Kulon Progo, yang karena jauhnya rumah dari peradaban modern memutuskan untuk ngekos di daerah Klebengan, Bulaksumur. Dia yang memperkenalkan saya pada angkringan klebengan dengan tempe-seribu-tiga-nya yang tersohor itu.

Oke, jati.

Seorang Jati itu biasa. Tapi seorang Jati yang menelpon saya itu luar biasa.

Saya masih bertanya-tanya dalam hati.

Apa dia mau curhat masalah kuliah? Atau sekedar menanyakan kabar? Atau mau minta trik nembak cewek?

Dan dia menjawab "Aku kangen koe Yok." ("Aku kangen kamu.")

Agak berbau homo setelah ditranslate ke bahasa Indonesia ternyata, tapi biarlah. Demi kejelasan cerita, obrolan dalam bahasa Jawa akan saya konversi menjadi bahasa Indonesia.

Kangen bukanlah jawaban yang saya harapkan darinya. Hahahah.


"Biar deh kalo kedengarannya menye. Tapi aku kangen kamu, Yok."

"Lah kok bisa? Hahaha," jawabku.

"2 hari yang lalu, waktu aku lagi niat kuliah, temenku malah pada nonton film di laptop. Three Idiots," katanya.

"Aku ikut liat pas bagian akhirnya, waktu ada Ramchordas Chamchad (atau entah bagaimana tulisannya) aku ingetnya orang itu adalah kamu Yok."

JANCUUUUKKKKK HAHAHAHHAAH.

Spontan langsung ketawa. Aku nggak habis pikir. Gara-gara film. Ramchordas itu sosok orang yang membukakan mata sahabat-sahabatnya. Yang merubah hidup mereka. Dan orang itu adalah aku, kata dia.

Sekali lagi jancuk.

Ah bingung mau merespon apa. Tapi saya kepikiran satu hal: saya punya orang-orang semacam mereka. Sejenis Jati. Mereka yang selalu ada. No matter what. Uh.

Sekilas langsung terputar kembali ingatan tentang Jogja. Malioboro malam hari yang wajib saya lewati ketika pulang. Orang pacaran di jembatan Gondolayu. Turis domestik ndeso yang foto di tugu malem-malem. Kopi klothok. Nasi kucing. Gudeg WAWAWA dengan pemandangan balapan geng motor di malam minggu. Mereka.

Mereka. Ya. Mereka yang membuat saya bingung menempatkan istilah "teman". Bahasa Indonesia tampaknya butuh vocab baru untuk mengistilahkan sesuatu semacam mereka ini. Lebih dari teman, sahabat. Tapi bukan keluarga, karena tidak sedarah. Hahaha.

...

Satu jam obrolan kami merembet ke mana-mana. Kuliah, kelas gugur, presentasi, BEM, FKY, Festival Musik Tembi, UGM Economic Jazz, udah dapet pacar atau belum (asu), pingpong, Beni yang masih sakaw SNSD, dan beberapa hal lainnya.

Aih, saya rindu sekali obrolan ini.

...

4 Hari yang lalu, selesai latian teater sekitar jam 19.00 WIB. Beni menelpon. Mengabarkan bahwa Ibunya Yong-Yong meninggal. Dan mengajak saya melayat. Saya di Depok, mereka di Jogja. Itu adalah sebuah apa-apaan.

Hal-hal semacam ini menjadi trigger flashback. Ingatan tentang Jogja. Tentang mereka. Dan selalu saya harus menghadapi kondisi sakaw Jogja selama beberapa saat setelahnya.

...

"@nandiisme: yok  , aku kangen ngobrol sama kamu, haryok yang sekarang jadi kayak gimana ya ? *kangen* *tur random*" - Sebuah tweet yang saya terima dari seonggok Prasetya "Bachdim" Nandiwarhana, sesaat setelah percakapan dengan jati selesai.

...

Speechless bro. Serius.

Seperti yang yang sudah saya bilang, semesta punya caranya sendiri untuk menyampaikan tanda. The Grand Design of Nature. Malam ini, semesta berhasil memberi tanda yang membuat saya speechless. How lucky I am to have you all, guys.

Kalian.. tanda dari semesta yang membuat hidupku bermakna.


...



Cheers, salam persaudaraan dari Depok. Sebulan lagi ya guys :)

Monday, April 23, 2012

Merekam Malam

"Andaikan 24 jam yang bergulir adalah malam, maka aku tak akan pernah letih untuk hidup."



Kalimat itu tertulis begitu saja. Tanpa rencana. Namun bermakna. Aku selalu berteman dengan malam. Dia telah menjelma menjadi sahabat terbaik yang pernah kumiliki.

Malam ini, kurang lebih sama seperti malam-malam lainnya. Dengan dinginnya angin yang bertiup dari jendela yang tidak mungkin kututup. Aku memang selalu membiarkan jendela itu terbuka. Membiarkan setiap kemungkinan masuk, memang. Namun apapun itu, hanyalah setitik kecil dari daur hidup keenam yang sedang kujalani sekarang. Dengan mata yang tidak bisa terpejam, kulalui malam ini seperti biasa. Mungkin saking terbiasanya, tubuhku juga menolak rehat. Ia juga menyukai malam, tampaknya. Tubuhku punya naluri, dan perasaan terhadap segala yang dapat terasa. Bagus.

Sejenak kupalingkan badanku dari tumpukan kertas yang berserakan di atas meja. Menggapai sebatang kretek yang sejak tadi melambai, seakan mengingatkan untuk disulut. Hmm.. Dia adalah sahabatku yang lain. Obrolanku dengannya tidak terbatas ruang dan waktu. Kalian tahu, bahwa daur hidup memungkinkan kita untuk terlahir kembali menjadi benda yang dianggap mati? Aku telah menjalaninya pada yang ketiga. Muak rasanya melihat manusia memperlakukan mereka benar-benar sebagai benda yang tidak bernyawa. Tidak berasa. Superioritas manusia tidak membuat mereka meremehkan yang lain, harusnya. Yang banyak disoroti adalah yang hidup. Mungkin mereka kurang tahu bahwa yang tidak hidup bukan berarti tak bernyawa. Mungkin.

Malam itu masih dingin. Kepulan asap rokok yang memenuhi ruangan mengingatkanku pada malam berkabut waktu itu. Malam yang kukira bukan sahabatku. Aku pernah berada dalam malam berkabut, di tengah kehampaan dan keheningan. Aku merasa takut setengah mati waktu itu. Kukira malam itu bukanlah sahabat yang selama ini aku kenal. Atau mungkin dia menghkhianatiku, dengan berganti rupa menjadi sosok yang lain, yang tidak kukenal, yang menyeramkan. Ah, masih berdiri bulu kudukku jika mengingatnya. Seorang sahabat yang berubah mengerikan, itulah ketakukan terbesar dalam hidupku. Aku hanya bisa terduduk dan menangis, tidak berani melihat sekitar, melihat kenyataan bahwa sahabatku telah berubah. Tapi dia membisikkan kalimat sederhana yang entah kenapa, begitu menenangkan. "Jangan takut, ini aku". Saat kudengar suara itu, langsung terlintas begitu banyak ingatan dari enam daur hidup yang kuhabiskan bersamanya. Saat aku menang, terjatuh, dibuang, disanjung, diabaikan. Semua melintas seperti pelangi ingatan dalam benakku. Dan pada saat itu juga, aku percaya itu dia. Sahabatku.

 Semenjak itu, aku tidak pernah bisa terkejut melihat perubahan bentuknya. Dia yang kalem, hujan, berpetir, berangin, atau yang terang sekalipun. Aku percaya bahwa dia sahabatku, bagaimanapun bentuknya. Lagipula, bukankan bentuk itu selalu berubah? Kita hanya perlu penyesuaian terhadapnya. Apalagi, dengan wujud manusiaku sekarang, aku bisa memanfaatkan kemampuan adaptasinya (yang dianggap paling hebat diantara semua yang bernafas) untuk menyesuaikan diri terhadap perubahannya.

Kumatikan rokokku. Mengambil segelas air putih untuk sugesti penyeimbang. Hahaha. Dasar manusia, penuh sugesti. Karena aku terjebak disini sekarang, maka aku harus mengikuti itu. Naluri sugesti.

Angin sesekali bertiup terlalu kencang. Tapi aku menikmatinya. Malam, rokok dan kopi selalu menjadi paduan yang paling sempurna. Aku menikmati kehidupanku kali ini sebagai manusia. Merasakan kekuatannya, dan memaknai kelemahannya. Paling tidak hanya ini yang bisa kulakukan untuk mempersiapkan daur yang berikutnya, entah kapan akan terjadi. Selama sahabatku masih ada, ketakutanku sirna.

Tapi ada satu hal yang selalu membuatku ragu dan takut.
Kehilangannya.
Bagaimana mungkin kehilangan malam?

Dengan terlahir kembali menjadi malam.

Mungkinkah? Apakah aku akan menjadi dia? Atau tetap aku? Atau menjadi sahabat bagi manusia lain? 






Kunyalakan sebatang rokok lagi untuk menemani pertanyaan ini. Atau mungkin dua batang lagi.


Depok, 23 April 2012
22.37

Sunday, March 11, 2012

Persimpangan


ketika itu, aku berjalan sendiri. kecil langkahku. sejengkal demi sejengkal.
hening. terlalu hening untuk jalanan selebar ini.
dimana? sebuah persimpangan.
sebuah persimpangan yang sepi dalam keramaian.
papan penunjuknya tertutup debu tebal. tulisannya tidak bisa dibaca.

kulihat kekiri,
mata kecilku berkedip. silau.
banyak daun berguguran. kuning, hijau, biru, merah.
tak ada tanda kehidupan disana.
hanya suara angin yang menyelinap diantara ranting pepohonan Ara.
dingin.

kulihat kekanan,
banyak orang berlarian disana.
aku tak tahu pasti apa yang mereka genggam, tapi tampaknya mereka bahagia.
aku juga ingin bahagia.
aku ingin orang lain juga bahagia karena aku bahagia.
masih dingin.

kulihat kebelakang,
mereka menangis. aku tidak tahu apa yang mereka tangisi.
aku tidak tahu itu airmata bahagia atau kesedihan.
ada seorang wanita. ia juga menangis.
aku seperti pernah mengenalnya.
tapi aku tidak ingat pernah mengenalnya.
tatapan mata itu.
bukan, bukan kesedihan. itu pengharapan.
dingin, jauh lebih dingin.

kulihat kedepan,
kosong. titik hitam berpendar.
jalan itu masih samar. ia menyamar.
mana yang benar?
tidak tahu. aku tidak tahu benar itu apa.
yang kutahu, benar itu tak berujung.
jalan tak berujung? ada di depanku.
dingin.



apa itu dingin?

          ***

ketika itu, aku berjalan sendiri. kecil langkahku. sejengkal demi sejengkal.
hening. terlalu hening untuk jalanan selebar ini.
dimana? sebuah persimpangan.
sebuah persimpangan yang sepi dalam keramaian.
papan penunjuknya.
debunya.
samar-samar ditiup angin.
"masa depan", katanya.


dalam keheningan, 4 Juli 2011
00.53

Saturday, March 10, 2012

Lambang



Kata orang, lambang merupakan interpretasi indra. Bantuan penyaluran informasi visual.

Saya yang memang sudah sejak lama ingin membuat blog (dan baru tercipta sekarang), memikirkan konsep dan segala macam ide yang berkaitan dengan blog ini. Termasuk lambang. Ya. Entah darimana datangnya pemikiran untuk menciptakan sebuah gambar yang merepresentasikan visi saya dalam blog ini. Kemudian secara membabi-buta (tanpa skill memadai) dan 4 jam penuh dengan tombol undo diperkosa berulang-kali. Lahirlah sebuah coretan seperti terlihat di samping.

Meskipun banyak kebetulan yang terjadi, syukur alhamdulillah makna dari gambar tersebut cukup jelas terlihat, dan kedalamannya sesuai dengan yang saya rencanakan. Garis hitam tebal membentuk spiral, dengan sedikit lekukan, banyak ketidak-teraturan, dan diakhiri oleh titik hitam yang sedikit bermetamorfosa.

Itu adalah sebuah kepala manusia, yang di dalamnya penuh dengan ide. Atau di lain sisi adalah sebuah tanda tanya besar dan membingungkan (sesuai dengan namanya, tanda tanya.)

Proses didalam kepala manusia memang jauh lebih rumit daripada persamaan kimia manapun. Dan ketika kerumitan itu tidak bisa dikeluarkan, ia akan mengendap, atau terbuang sia-sia. Itulah yang melatar-belakangi pembuatan blog ini. Supaya setiap "omong kosong" yang terlintas di kepala, tidak berakhir oleh hembusan angin, tapi bisa menetap dalam suatu wadah, yang akan selalu mengingatkan bahwa saya pernah berpikir, saya pernah memaknai peristiwa, dan saya pernah hidup.

Jakarta; Sebuah Abstraksi


*finally, mood menulis itu kembali, setelah sekian lama hilang entah kemana. :D

Abstraksi? dari www.http://kamusbahasaindonesia.org 
abstraksi artinya proses penyusunan abstrak;
[n] ikhtisar (karangan, laporan, dsb); ringkasan; inti 
[a] tidak berwujud; tidak berbentuk;

Abstraksi menurut paham terbatas saya : adalah proses penyusunan inti yang tidak berwujud.Contentually, tulisan ini merupakan abstraksi dari pertimbangan dan keputusan dari semua mimpi-mimpi gila tentang Jakarta dan masa depan saya di sana. :D

Latar belakang ceritanya adalah..
malam ini saya pergi ke stasiun kereta lempuyangan Jogja untuk mengantar 3 saudara gila (baca: cacing, beni dan kopi) yang akan berpetualang di Bandung. Stasiun. Entah kenapa tempat ini punya chi yang berbeda dari semua tempat yang ada. Somehow, saya selalu terharu ketika berada di stasiun, karena menurut saya, stasiun adalah tempat yang lekat dengan perpisahan, entah pergi atau ditinggal-pergi. Tidak seperti bandara atau terminal, stasiun dalam pe-rasa-an saya memiliki nuansa yang lebihguyub dan nyaman dibanding pangkalan transportasi yang lainnya. Saat itulah, saat mengantar mereka bertiga saya kembali mendapat pencerahan untuk sekedar menuliskan apa yang saya rasakan. (thanks alot guys, bahkan kepergian kalian memberi "sesuatu" buat saya :D)

Saya berencana meneruskan kuliah di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia.

Kenapa Filsafat?

Masa-masa kelas 3 SMA adalah brainstorming moment bagi saya. Kelas 3 SMA adalah masa pergulatan batin, dimana saya akhirnya berkenalan dengan sesuatu yang sangat menarik, filsafat. Di kelas 3 ini saya merasa berada dalam titik jenuh "belajar" tertinggi. (Belajar di sini maksudnya adalah proses belajar-mengajar formal di dalam kelas. Duduk mendengarkan guru, mengerjakan tugas dsb.)

Hari-hari kelas 3 saya habiskan dengan peningkatan intensitas tidur di kelas. Inilah titik awal kedalaman pemikiran itu muncul. Saya merasa aneh dengan hal ini. Menurut saya, belajar itu seharusnya menyenangkan, dan selalu ada sisi yang membuat kita tertarik untuk melakukannya. Tapi apa yang terjadi di kelas? Saya justru semakin sering tidur. Artinya buat saya adalah : sudah tidak ada lagi ketertarikan untuk "belajar". Pertanyaannya hanya, kenapa bisa begitu? well, sampai sekarang (atau bahkan sampai kapanpun) saya masih mencari jawaban atas pertanyaan ini :D

Dari situ saya mulai berpikir, kenapa pelajaran di kelas membosankan? kenapa pelajarannya tidak aplikatif untuk dunia-yang-benar2-nyata akan saya jalani?
kenapa?
apa yang dicari orang dari sekolah? ilmu? ijazah? nilai? angka? teman?

kenapa orang sekolah? apakah orang tidak bisa hidup tanpa sekolah?


Yah, itulah sekelumit pertanyaan yang sliweran di benakku saat itu. Mulai muncul pemikiran tentang hal-hal yang mendasar. Dan saya seperti menemukan hal yang belum pernah saya temukan sebelumnya. Berpikir. Ternyata menyenangkan juga ya memikirkan hal-hal yang mendasar semacam itu? :D

Semenjak itu saya mulai memindahkan pergumulan rak buku di perpustakaan, yang tadinya rak sastra, bergeser satu rak menjadi filsafat. Saya mulai membaca beberapa macam buku filsafat, mulai dari yang ringan macam novel "dunia sophie", atau yang mengenai cabang-cabang ilmu filsafat seperti filsafat psikologi, filsafat seni, filsafat jawa dengan sastra jendra dan "kesadaran kosmos"-nya, sampai dengan buku berbahasa Inggris keluaran Dorling-Kindersley berjudul "The Story of Philosophy"  yang mengenalkan saya dengan banyak simbah pengampu filsafat kuno macam Aristotle, Plato, sampai yang modern macam Hegel, Marx, Einstein, dsb.

Saya suka terhadap sesuatu yang sifatnya mendasar, karena dari pemikiran dasar kita bisa merangkak ke cabang pikiran manapun semau kita. Begitu juga dengan filsafat. Aplikasinya bisa ke disiplin ilmu manapun, tanpa batas. Borderless. Saya suka berpikir. Saya suka berpikir tanpa dibatasi. Keran pemikiran itu tidak terbatas. Dan saya menemukan wadah yang tepat untuk menampung keran pemikiran tidak terbatas itu, filsafat :)

Kenapa Jakarta?

18 tahun sudah saya bernafas, beraktifitas, dan hidup di kota senyaman Jogja. Dan di umur 18 ini saya baru menyadari betapa nyamannya Jogja itu. There's no place as homy as Jogja guys, trust me. Mau di manapun kalian berada, nggak akan ada kota yang sehidup Jogja. Suasananya, udaranya, masyarakatnya, keramahannya, harga makanannya. Percaya deh sama yang satu ini, Jogja is the one and only ! :D

Nah konfliknya bermula di sini. Jogja udah jadi terlalu nyaman buatku. Aku takut rasa nyaman itu yang nantinya jadi bumerang buatku. Aku takut semakin berat jika harus meninggalkan Jogja suatu hari nanti. Makanya, aku pengen keluar dari zona nyamanku ini, sebelum menjadi lebih berat lagi nantinya :)

Pemikiran itu memicu pergulatan batin lagi (as always).
Aku pernah duduk di angkringan sebelah tenggara alun2 utara (deket bakmi pele) menghadap ke barat daya. Waktu itu menjelang maghrib, suasana sekaten, mataharinya keliatan merah banget dibungkus langit biru gelap, lengkap dengan lampu khas kota jogja yang warnanya ijo, penuh lekukan tanpa sudut. Soundscape nya ada musik house yang diputer di ombak banyu, suara teriakan orang2 yang naik, suara setan di rumah hantu, suara motor di tong stand, suara adzan maghrib dari masjid. (aku menggambarkan sebisaku, kebayang nggak ya?) Nah entah kenapa disitu mengharukan banget suasananya. Aku berpikir, ini lho Jogja ! Suasana semacam ini yang bakal tak kangenin besok di Jakarta :')

(dan mulai saat itu, sudut pandang alun2 utara dari angkringan itu jadi tempat yang sakral bagiku ehehe :D)  

Jakarta tampaknya menantang untuk ditaklukkan, pikirku. Kaya apa sih Ibukota, yang katanya jauh lebih kejam daripada Ibu tiri itu? Memang aku berencana datang dan numpang hidup di sana untuk mencari konflik. Mengubah ketidaknyamanan menjadi zona nyaman baru melalui serangkaian proses yang aku yakin akan sangat memperkaya kualitas diri seorang manusia.

Berat memang meninggalkan Jogja dengan segala kenyamanan, kenangan, dan orang2 yang aku sayang di sini, berat banget. Tapi ini yang namanya hidup bro. Nggak ada manfaatnya kalo cuma diem di zona nyaman kita. "To discover something new, that's why life is beautiful, isn't it?"

Well, that's  my blueprint, guys :D
Itulah sekelumit cerita, gagasan dan pertimbangan tentang kenapa filfafat dan Jakarta yang akan mengisi hati saya beberapa tahun ke depan hahaha :D

Kepastiannya baru akan kudapat tanggal 30 Juni besok, minta doanya yaa :D

*Anggap saja tulisan ini merupakan pertanggungjawaban keputusan saya kepada orang tua (sing omahe tak tunuti urip karo mangan 18 taun iki :p), banyak teman yang mempertanyakan keputusan radikal ini (ben ora kemeng le njelaske), dan sukur alhamdulillah kalo bisa jadi manfaat buat kamu, kamu, dan kamu yang membaca :)

Jogja, 18 Juni 2011
00.43 

Rambut Adalah Mahkota Lelaki


Rambut saya pendek. YEAAAHHH!

Sebelumnya, mungkin bagi sebagian besar orang apa yang akan saya tuliskan disini merupakan perumitan dari sesuatu yang sebenarnya simpel; atau tulisan yang terlalu mendalam dari suatu hal yang sebenarnya dangkal. Yah, setiap orang berhak menilai, dan saya bisa menerima setiap respon yang mungkin keluar hahaha

Kali ini temanya rambut. Ya, RAMBUT.

Setelah kurang lebih 3 tahun menggunakan rambut panjang sebagai penghias kepala, beberapa waktu yang lalu saya memutuskan untuk memulai hidup baru dengan rambut pendek. Sebenarnya ide ini tidak muncul begitu saja, atau secara spontan sebagai manifestasi kekecewaan terhadap sesuatu, atau karena habis putus cinta (yang terakhir ini asu hahaha). Bukan, bukan itu semua alasannya.

Well, saya adalah manusia yang cenderung anti-rutinitas, tidak suka sesuatu yang konvensional, tertarik pada hal-hal yang tidak biasa, menghargai kebebasan ekspresi, dan memegang teguh apa yang saya yakini benar. Everyone is unique as themselves, itu yang saya percaya. Saya tidak pernah takut untuk menjadi berbeda. Saya tidak pernah silau terhadap perbedaan dan perubahan. Dalam konteks ini, perbedaan yang paling mencolok adalah perbedaan yang bisa dilihat. (visual difference).Apalagi dengan pupuk dari SMA Kolese De Britto yang menjunjung tinggi kebebasan hakiki setiap orang, saya semakin mantap dengan konsep "berbeda secara visual" ini. Berada di sekolah yang mengizinkan siswanya memakai hak nya secara bebas dan bertanggung jawab untuk berambut panjang dan tidak memakai seragam, secara alamiah mengubah visualisasi diri kami. Rambut gondrong, jarang mandi, celana sobek, tatto, dan banyak hal yang membuat kami terlihat berbeda dari anak sebaya kami yang lain.

Saya, sebagai salah satu anak-yang-secara-visual-berbeda mulai mengalami krisis identitas. Dimana pada waktu itu, banyak pemikiran yang menuntut kami untuk tidak hanya terlihat berbeda. Kami harus bisa benar-benar berbeda (secara positif, tentunya). Orang yang secara visual bebeda mempunyai kekuatan untuk memberi kesan terhadap si penglihat. Saya masih ingat betul bagaimana ekspresi orang waktu pertama kali melihat saya (dengan rambut gondrong waktu itu). Hampir setiap orang akan memberi pandangan yang "Wow gondrong, keren. Anak sma beneran nih?" atau "Ih jijik banget sih rambutnya kaya benang kusut gitu." Berlawanan, tapi keduanya punya persamaan mendasar: kesan. Orang akan cenderung mudah terkesan (bisa positif/negatif) kepada mereka yang secara visual berbeda. Dan kesan ini adalah modal yang sangat berharga untuk bisa dikonversikan menjadi sebuah hubungan yang komunikatif sesudahnya. Sekedar ngobrol, mencari informasi, channeling, atau buat cari pacar juga bisa hahaha

Sebenarnya ini nggak fair ya..seseorang dilihat hanya karena secara visual ia berbeda. Seharusnya manusia bisa melihat lebih dalam daripada hanya sekedar visual atau fisik semata. Bahkan seringkali kita dicap dengan stigma negatif hanya karena ciri-ciri fisik. Rambut gondrong identik dengan kesemrawutan (katanya), nggak tau aturan (katanya), tatto identik dengan narkoba (katanya) dan masih banyak katanya katanya yang lain. But hate to say, damn it's true dude! We live with all that kind of shit hahaha. Hal ini masih buaaannyyyaaaakkkk sekali terjadi (dan akan tetap terjadi :p).

Intinya, 3 tahun saya jalani dengan rambut gondrong. Entah berapa ratus, ribu, atau bahkan jutaan kesan yang sudah tercipta dalam rentang waktu tersebut. Saya sudah terbiasa, atau bahkan sudah terlalu terbiasa dengan previlege ini. Bagaimana hal "membuat kesan" ini begitu mudah ketika kita secara visual berbeda.

Yak titik baliknya bermula di sini. Bosan.

Bukan bosan pada rambut panjangnya, tetapi kepada bagaimana orang melihat Haryo-yang-berambut-panjang. Saya merasa sudah cukup kaya dengan pengalaman memberi kesan kepada orang hanya karena rambut panjang. Seorang teman di kampus, sebut saja mawar, pernah berdiskusi dengan saya perihal physical appearence ini. Dia memaparkan analisa filosofis yang mencengangkan buat saya waktu itu. "Yo, rambut lo sampe nutupin mata, itu ada artinya. Artinya lo nggak bisa melihat dengan jelas. Lo nggak bisa lihat dengan jelas orang lain yang benar-benar ada buat lo. Rambut lo juga nutupin kuping. Itu artinya lo nggak bisa mendengarkan orang lain. Lo udah terlalu lama hidup sendiri. Lo udah terlalu banyak memutuskan sesuatu tanpa mendengarkan orang lain. Jangan terlalu idealis lah.." kata mawar kala itu.

Shit. Am I really looked like that? Saya tidak merasa seperti itu, tentu saja. Hello, ini cuma rambut, nggak ada hubungannya sama nggak pernah mendengarkan dan melihat orang lain. Sebenarnya ini agak diluar konteks, tapi saya ingin bercerita bagaimana pandangan orang terhadap ciri fisik saya waktu itu. Bukan obrolan itu juga yang mengantarkan saya ke tukang cukur dan merevolusi rambut. Tapi obrolan itu mengantarkan saya kepada sebuah perspektif yang berbeda dengan apa yang selama ini saya gunakan. Oh, ternyata ada juga orang yang berpikiran seperti itu.

Then I decided to bring this on to the next level: Arupadatu state.

Arupadatu merupakan bagian tertinggi dari Candi Borobudur, dimana areanya paling kecil dibandingkan 2 bagian dibawahnya (kamadatu dan rupadatu). Bagian arupadatu ini melambangkan tingkat tertinggi dalam kehidupan, dimana bentuk/visual tidak lagi menjadi variabel yang menentukan (a- tidak; rupa- bentuk; arupadatu - tidak berbentuk). Ehem, ini adalah pelajaran IPS kelas 3 SD yang masih benar-benar saya ingat dan pegang sebagai filosofi hidup sampai sekarang.

Yep, saya memutuskan untuk menaikkan abstraksi dalam konsep ini, ke tingkat yang lebih abstrak, tidak berbentuk.

"Hah? Maksud lo?" Okay this is how it's gonna work..


Secara visual berbeda ------------> bikin orang terkesan (wajar lah, diliat aja udah beda).
Secara visual sama ---------------> bikin orang terkesan (mmmmm yang ini mungkin lebih susah).

Dengan rambut pendek (secara visual sama dengan orang kebanyakan), membuat orang terkesan atau mempunyai kesan terhadap kita menjadi lebih susah ketimbang ketika secara visual kita berbeda.

Oke, nangkep. Terus?

Nah di sini serunya. Ketika secara visual sama seperti kebanyakan orang, berarti kita harus punyasesuatu yang lebih daripada mereka yang hanya-sekedar-terlihat-berbeda. Apa itu? Nah ini dia yang saya maksud dengan "abstrak" tadi. Kita harus punya sesuatu-tidak-terlihat yang bisa bikin orang terkesan. Bahasa gampangnya invisible thing, bahasa susahnya conceptual thing. Bisa jadi ide, pemikiran, atau gagasan.

Inilah yang sedang saya kerjakan sekarang. Untuk bisa terlihat sama, tetapi ternyata berbeda hahaha
Bagaimana kesan itu tetap bisa ada meskipun sekarang rambut saya pendek, rapi, dan terlihat sama seperti orang kebanyakan. Saya menganggap potong rambut kali ini merupakan revolusi pemikiran;rennaissance atau kelahiran kembali. Kelahiran pemikiran dengan tingkat abstraksi lebih tinggi, mendekati esensi hidup yang pada hakikatnya tidak mempunyai bentuk.

Jangan tertipu bentuk, karena yang terlihat tidak selalu seperti tampaknya.
Visual is an obvious lie, look beyond what you see.

Depok, 26 November 2011
01.33 

Aku Bingung


Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
menari-nari di atas penderitaan kawan
tidak menghargai adanya teman

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
tak berbudi, nurani dimakan Setan
anak disiksa, pembantu diperkosa

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
serakah, saling sikut berebut tuntut
mata tertutup, hati tak bersahut

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
memperkosa lingkungan
menjadi penguasa alam yang mencelakakan

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
minggu berlutut di depan altar
senin berbuat makar
lima kali sehari sujud menghadap kiblat
tujuh kali sehari menyuntik obat

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
tunjuk sana tunjuk sini
mendefinisikan kesesatan
tanpa tahu poros keAkuan

Aku bingung..
haruskah Kuambil semua, seperti ketika kalian belum ada?

Jakarta, 23 Oktober 2011
12.41