Saturday, April 1, 2023

Ihwal Perjalanan Spiritual

Namanya Elok Satiti. Sungguh nama yang sampai kini, menurutku unik dan kuat. Elok artinya bagus, satiti artinya cermat. Bahasa Jawa sederhana yang kadang luput dari ingatan. Setelah menikah dengan I Gusti Made Susrama, tersematlah nama Susrama di belakangnya. Elok Satiti Susrama. Eyang, aku biasa memanggilnya. Ia tinggal seorang diri di Jember, Jawa Timur. Kelahiran tahun 1934, samar-samar aku ingat bagaimana eyang bercerita tentang bagaimana ia membantu pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia melawan tentara Jepang dengan menjadi kurir. Ia akan membawa amunisi, makanan, obat-obatan kepada para gerilyawan masa itu. "Anak kecil lebih tidak dicurigai", katanya. 

4 hal yang eyang sekali: menulis, menyanyi, tanaman dan anjing. Ini yang menghiasi hidup seorang dirinya di Jember sepeninggal pekak (kakek) yang meninggal tahun 1991. Ketiga anaknya merantau: yang tertua di Bekasi, kedua dan ketiga di Yogyakarta. Berulangkali eyang mau diboyong ke Yogyakarta supaya lebih dekat dengan kedua anaknya. Namun ia kekeuh menolak. "Rumahku di Jember. Kalau mau, kalian yang ke sini, bukan aku yang ke sana", katanya. Keras kepala memang orangnya, tapi itulah salah satu keelokan eyang. Dia orang tua independen yang punya hidupnya sendiri. Dia suka menulis, tentang apapun. Kadang berkirim surat dengan anak-anaknya untuk bercerita tentang apapun dan menanyakan kabar. Ia melatih koor di GKI Jember, dan aktif dalam pelayanan gereja. Rumahnya penuh dengan tanaman dan anjing. Aku ingat betul ketika sendiri berkunjung ke sana sekitar umur SD, aku ditidurkan di atas lemari karena lantai penuh anjing. Puluhan jumlahnya. Semuanya anjing kampung yang akupun tidak tau asal usulnya.  Menggonggong setiap ada orang tidak dikenal. Jadilah selama aku di sana, setiap masuk dan keluar rumah akan digendong oleh eyang supaya aku tidak digigit oleh anjing-anjing ini. Hanya 2 nama yang masih aku ingat dari mereka: Papa Cikona dan Mama Metinda. Ciko dan Meti singkatnya. Mereka inilah yang menemani dan menjaga eyang di Jember. Jadi bisa dibayangkan, dengan semua hal itu, betapa penuh dan sibuknya hidup eyang, bahkan di masa senjanya.

*

Eyang berasal dari keluarga Kristen yang taat. Lalu hidup mempertemukannya dengan pekak, seorang anak Pedanda (pemuka agama Hindu) dari Bali, kemudian memutuskan untuk menikah dan hidup bersama. Pekak meninggal tahun 1991, sedangkan aku lahir tahun 1992, jadi aku tidak kenal dengan beliau, kecuali lewat cerita-cerita dari eyang, ibu atau bapak. Tapi yang aku tahu, pekak tetap memeluk Hindu, sampai menjelang akhir usianya, ia meminta untuk dibaptis menjadi seorang Kristen. Tentu untuk seorang anak Pedanda menikah dengan orang Kristen, banyak masalah yang terjadi. Pekak mendapat sanksi adat dari keluarga, diputus tali silaturahminya. Mungkin bahasa sekarangnya adalah dicoret dari KK. Tapi ia tekun pada pilihan hidupnya, sampai akhir hayatnya.

Jadi dalam hal ini, eyang sudah melalui satu babak mayor tentang spiritualitas ketika ia menikah dengan pekak.

*

Waktu aku kecil, sekitar usia SD, kadang eyang akan datang berkunjung ke Yogyakarta untuk menengok kami. Ia akan naik kereta ekonomi Sritanjung dari Jember ke Yogya. Momen ini di satu sisi akan kunantikan, karena mengobrol dengan eyang itu mengasyikkan. Tapi di sisi lain, aku tahu persis ia akan menjadi polisi di hari Minggu pagi, untuk memaksaku pergi sekolah minggu di gereja. Sementara seperti anak lain seusiaku, tentu Minggu pagi adalah jadwal yang padat untuk kami. 6.30 pagi Let's n Go, jam 7 Chibi Maruko Chan di RCTI, lalu 7.30 ada Digimon di Indosiar dan terus berlanjut sampai siang hari. Tentunya ini adalah hal yang tidak bisa kulewatkan. Jadilah hari Minggu pagi setiap ada eyang di rumah, aku akan merengek atau menangis supaya tetap bisa di rumah menonton kartun favoritku. Tapi ia sangat otoriter. Sekolah minggu adalah wajib. Menangis pun aku akan diseret untuk pergi ke gereja. Bahkan sekali-dua kali, aku ingat eyang memarahi ibu karena tidak memaksaku ke gereja di hari Minggu.

Bapak adalah seorang muslim, tapi memang ia berkomitmen untuk menjaga dan mengantarkan anak-anaknya untuk ikut ibu menjadi seorang Kristen. Ia tidak setia pada ritual keagamaannya, tapi aku tahu persis imannya ada di sana. Jadi di rumah memang dinamikanya sangat beragam. Di hari minggu biasa ketika tidak ada eyang, hidupku lebih tentram. Bapak dan ibu sangat santai. Lebih bisa diajak kompromi untuk nonton kartun daripada ke gereja.

Tentang perbedaan ini di rumah, juga menjadi dinamika yang menarik ketika eyang berkunjung. Masih kisaran umur SD, aku ingat betul, ia sering melontarkan kalimat "kalau di Kristen" atau kata "Kekristenan" pada topik-topik yang kami bahas. Seringkali menimpali bapak, yang Islam dan cukup nyeleneh pandangannya. Seringkali mereka berdebat dan saling olok (seperti anak-anak yang "berantem" dengan teman sebayanya) tentang ini. Dalam topik-topik tertentu, bapak akan menyindir "Kalo di Kekristenan gimana, yang.." lalu seperti minyak yang disulut korek api, ia akan memberi kuliah 3 SKS tentang topik tersebut dari perspektif Kristen. Truly a preacher at that time.

*

Sekitar 12 tahun kemudian, hidup membawaku untuk kuliah di Jurusan Filsafat, sebuah bidang studi yang penuh stigma di Indonesia, tanpa orang benar-benar tahu, ia sebenarnya apa. Waktu itu eyang sangat support, karena ia tahu banyak pemikir besar lahir dari rahim ilmu filsafat. Terlebih lagi aku akan kuliah di universitas favorit di Indonesia yang mengharuskanku merantau dari Yogyakarta. Sekitar semester 5, aku berkesempatan untuk menghabiskan masa liburanku di Jember. Kali ini naik kereta bersama teman-teman SMA ku yang akan backpacking ke Bali via kereta dan ferry. Kami berangkat bersama-sama, tapi aku turun di Jember sementara mereka akan melanjutkan perjalanan dengan kereta yang sama sampai ke Banyuwangi, kota paling timur di pulau Jawa. Kurang lebih 2 minggu aku mengunjungi eyang kali ini. Aku lupa kapan terakhir kali aku bertemu dengannya, tapi rasanya tahunan. Ia masih seperti eyang yang dulu, hanya saja sudah lebih sepuh. Masih kuat untuk berjalan kaki ke mana-mana dengan topi tentaranya, tapi tidak sejauh dulu. Masih kenal dengan semua tukang becak seantero jember, yang semua memanggilnya dengan sebutan oma. Ia menjemputku dengan becak, dan memperkenalkanku tengan Pak Becak tersebut yang aku lupa namanya. Lalu sepanjang perjalanan mereka ngobrol dengan bahasa Madura yang tidak kumengerti. Tapi rasanya ia menjelaskan asal-usul dan silsilah keluargaku. Dari stasiun kami mampir ke pujasera di dekat sana (hal yang selalu kami lakukan setiap sampai di Jember), lalu kami makan, baru pulang ke rumah.

Sampai di rumah, eyang tidak menyuruhku untuk tidur di atas lemari seperti waktu SD dulu, tapi ia sudah menyiapkan kamar untukku. Kamar ini letaknya di depan, terpisah dari rumah utama yang menjadi ruang hidup eyang sehari-hari. Ia menyebutnya "kamar tamu". Kamar ini pengap (tentu, karena tidak pernah dihuni dan dibersihkan), diisi oleh 1 kasur kapuk ukuran single dan tv jadul, dan yang langsung menarik perhatianku adalah: kamar ini penuh dengan buku yang ditumpuk berserakan di lantainya. Ada yang diletakkan dalam box, ada yang ditumpuk begitu saja. Intisari, National Geographic, buku sastra, buku berbahasa Jerman dan Belanda yang kertasnya sudah kuning, dan banyak jenis buku-buku lain ada di sana. Katanya ia sedang beberes. Tahu aku akan datang, ia sengaja membiarkan buku-buku itu ada di sana, barangkali aku suka dan ingin membaca. Ruangan ini menjadi tempat utama perjalananku di Jember waktu itu.

Malam harinya, kami mengobrol. Ini adalah pertemuan pertama kami semenjak aku berkuliah di Jurusan Filsafat. Aku menemukan harta karun berupa buku berjudul "Religions of the World", bersampul merah, bahasa Inggris bukan terjemahan. Seketika itu aku langsung berkata ke eyang, "Yang ini buat aku ya, tak bawa pulang".



Ia sumringah, tentu saja memperbolehkan, dan menunjukkan beberapa koleksinya yang lain. "Jadi gimana kuliah filsafat?" tanyanya. Tentu sebagai mahasiswa filsafat semester 5, aku sudah tahu obrolan apa yang akan kulalui, terutama berhadapan dengan orangtua religius yang memegang teguh prinsip keimanannya. Kami ngobrol ngalor ngidul selama beberapa waktu, hingga akhirnya sampai pada kalimat magnum opus: "Yok, tapi bukannya orang filsafat itu ngga percaya Tuhan ya?" sambil menatap mataku dalam, sambil tersenyum. Berhadapan dengan dia, aku tahu betul pertanyaan macam apa ini. Sangat berbeda konteksnya dengan orang random yang melontarkan pertanyaan yang sama. Itu adalah salah satu momen dalam hidupku yang sampai kini aku masih ingat betul rasanya.

Tentu aku jawab, tapi biarlah hanya kami bertiga yang tahu. Yang jelas, kami ngobrol sampai larut malam itu. 

"Kamu udah belajar Marx?" tanyanya.

"Di kelas belum ketemu, yang, tapi aku suka banget topik itu, jadi sudah sering baca-baca sendiri".

Aku sangat suka topik tentang politik dan ideologi sejak SMA, jadi obrolan ini terasa begitu menyenangkan dan mengalir begitu saja. Kami menemukan sebuah kertas yang menyerupai kartu. Kata eyang, ini adalah kartu kereta milik pekak. Pekak adalah anggota MPR jaman Soekarno, dan di masa itu, salah satu fasilitas yang didapatkan sebagai anggota MPR adalah gratis bepergian menggunakan kereta. Petugas nanti hanya tinggal menulis data perjalanannya di kartu ini. Kartunya sudah berwarna kuning, ada tulisan huruf latin yang tintanya sudah mbleber ke mana-mana karena usia. Ia menceritakan pula bagaimana peristiwa 1965 begitu dekat dengan hidupnya waktu itu. Katanya, pekak punya foto dia satu frame dengan Mao di sebuah rapat MPR. Waktu sedang panas-panasnya G30S, eyang mengubur foto ini di halaman belakang rumah, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sungguh hingga kini aku ingin betul menemukan foto ini. Tidak ternilai harganya buatku.

Dari obrolan malam itu, aku tetap mengenal eyang sebagai seorang intelektual yang aku kenal dari dulu. Tutur dan bahasanya benar-benar bisa menunjukkan bahwa wawasannya luas dan ia suka belajar. Yang berbeda adalah, ia tidak memperlakukanku seperti anak kecil, seperti waktu ketika ia menyeretku untuk pergi ke gereja di hari minggu. Ia lebih banyak mendengarkan daripada dulu, yang sangat dominan dalam pembicaraan, dan seringkali memaksa pendapat "Kekristenannya" itu. Oke, ternyata orang se-sepuh eyang pun juga masih belajar tentang banyak hal.

*

Hari berikutnya, aku diajak eyang jalan-jalan ke Rembangan. Kalau Yogya punya Kaliurang, Jakarta punya Puncak, Jember punya Rembangan. Tempatnya dingin, kalau tidak salah berada di bukit-bukit, dan menjadi salah satu wisata jadul yang ada di sekitar Jember. Tapi waktu kami ke sana, tempatnya relatif sepi, hanya ada satu-dua kelompok orang yang ada di sana. Yang aku ingat betul, ada sepasang calon pengantin yang sedang melangsungkan foto-foto pre wedding mereka lengkap dengan fotografer dan beberapa kru yang terlibat. 

"Cah-cah enom jaman saiki, foto-foto prewedding koyo ngono, tapi uakeh sing 6 sasi mantenan terus cerai, Yok", (anak-anak muda jaman sekarang, foto-foto pre wedding seperti itu, tapi banyak yang 6 bulan menikah lalu bercerai, Yok) eyang nyeletuk out of nowhere kepadaku. Sambil tertawa aku menjawab, dari mana eyang bisa dapat judgement seperti itu? Banyak terjadi di gereja di sana, katanya. Aku hanya tertawa. Dalam hati aku kembali melihat, bagaimana perjalanan eyang, dari seorang yang cukup kolot (secara spiritual), hidup dalam tempurung kekristenannya, sampai pada sindiran terhadap hal-hal seperti ini. Aku yang SD tidak akan bisa membayangkan eyang bisa nyeletuk seperti itu.

*

Beberapa hari sesudahnya, eyang ada acara dengan kelompok koor di salah satu gerejanya (aku sebut salah satu, karena eyang aktif di beberapa organisasi gereja yang berbeda kala itu). Acaranya semacam retreat, berangkat bersama-sama menggunakan bus. Karena kedekatan eyang dengan pendeta di sana, kami disuruh untuk berangkat satu mobil dengan beliau, alih-alih bersama bus rombongan. Mobil diisi kami berempat: aku, eyang, Pak Pendeta yang memegang kemudi dan istri. Perjalanan memakan waktu beberapa jam, aku lupa pastinya. Yang jelas obrolan di dalam mobil tidak akan pernah hilang dari ingatanku. Karena aku belum pernah bertemu dengan mereka, tentu topiknya dimulai dengan eyang memperkenalkan siapa aku, siapa ibu bapakku, seperti yang ia lakukan dengan tukang becak setibaku di stasiun beberapa hari sebelumnya. Ketika topik sampai pada bidang studiku, tone obrolannya mendadak berubah. Pak Pendeta yang sambil menyetir menatapku dari kaca spion tengah. "Kok malah belajar filsafat? itu kan bertentangan dengan gereja?" nadanya meninggi. "Kenapa ngga ambil teologi? banyak lho universitas di Jawa yang jurusan Teologi nya bagus", sebelum aku membuka mulut untuk menjawab, dia sudah menyusulkan pertanyaan berikutnya. Tentu, lagi-lagi sebagai mahasiswa filsafat semester 5, obrolan seperti ini udah memiliki SOP dan tupoksinya sendiri di kepalaku. Aku eye contact dengan eyang, untuk membaca reaksinya, dan menerka bagaimana sebaiknya aku bersikap. Wajah eyang terlihat emosi. Di luar dugaanku, ia menyalak duluan untuk menjawab Pak Pendeta, menyanggah perspektif sempit tentang filsafat dan dogma gereja yang ia lontarkan sebelumnya. Perdebatan panjang bergulir dari sana, dengan nada yang sama-sama meninggi. Di luar dugaan, aku malah tertawa dalam hati karena menjadi penonton di sana.

Eyang, di usianya yang senja, masih adalah eyang yang kukenal dulu. Eyang yang merawatku waktu umurku satu tahun, ketika bapak ibu harus menjalani KKN di Jawa Tengah. Masih eyang yang menggendongku dari pintu masuk rumah menuju ke atas lemari tempat tidurku, agar aku terlindung dari gigitan anjing-anjingnya. Lalu sekarang ia melindungiku, bukan sekedar fisik, tapi pandangan spiritualku, dari seorang pemuka agama. Agama yang juga ia pegang dekat di hatinya, seiring dengan pertumbuhan imannya. Aku yang SD tidak akan pernah bisa membayangkan eyang berdebat dan melontarkan kalimat-kalimat seperti itu. Aku tidak ingat pasti bagaimana detil obrolannya, yang jelas sampai perjalanan berakhir di tempat tujuan, suasana menjadi panas, dan eyang bilang padaku, "Yok nanti pulangnya kita ikut bus aja." (tidak naik mobil lagi). Dan setelah acara selesai, kami memang pulang naik bus.

Satu hal lagi, eyang meminta maaf padaku setelah kejadian itu. Poin maafnya terutama karena membuatku ada di posisi yang tidak enak. "Santai, yang, sudah resiko jabatan," jawabku setengah bercanda.

Ketika aku pulang beberapa hari sesudahnya, buku bersampul merah yang kuceritakan di atas tertinggal, dan aku sangat kecewa. Aku jarang mengobrol dengan eyang setelah itu karena kembali hidup dengan kesibukanku sebagai mahasiswa, sampai sekitar 2 tahun kemudian, aku mendapat kiriman paket di kos. Isinya adalah buku tersebut, dengan secarik kertas bertulisan tangan eyang.

"Waktu itu Yok suka banget buku ini, tapi ketinggalan, maaf eyang baru ingat dan sempat kirimkan sekarang"

*

Kini, 4 tahun setelah eyang berpulang. Aku diingatkan kembali, hal terbesar yang diwariskan eyang melalui ingatanku: bahwa manusia bisa terus bertumbuh dalam keimanannya.


Jakarta, 1 April 2023

No comments:

Post a Comment