Thursday, December 28, 2023

Obrolan di Warung Sembako

“Kuliah di mana mas?” Kata si bapak penjual beras.

“Kula kuliah teng UI pak”, jawabku.


“Oh Jakarta nggih”, ia menimpali.


“Sampun kerja sakniki, sudah lama” sahut ibu.


“Oooo ngoten, lha niki liburan?”


“Nggih pak, liburan.”


“Tapi malam ini sudah balik ke Jakarta lagi” sahut ibu.


“Ooo sudah mau pulang lagi to.”


“Balik pak, bukan pulang. Kan pulangnya ke sini” kata ibu.


Aku dan ibu saling berpandangan, sambil sama-sama tersenyum.


Jogja, 28 Desember 2023

20.04

Saturday, December 23, 2023

Aku suka Animo

 Karena Animo terbuat dari hal-hal baik


Animo terbuat dari Sabtu pagi

Yang entah kenapa kali ini aku bangun pagi

Dan memilih untuk mandi


Animo terbuat dari sinar matahari pagi yang pertama kali bertemu kulit

Setelah melewati malam yang panjang dan gelap di depan layar


Animo terbuat dari kebebasan

Karena setelah ini aku bisa live, main game, streaming, ngulik lagu, pacaran, badminton, telfon rumah

Atau hal-hal yang yang aku sukai lainnya


Animo terbuat dari hutang budi

Karena tukang bakso di depannya

Aku jadi menemukan tempat tinggalku kini

Yang pagar depannya tidak serupa kos-kosan

Tapi ketika penjaganya muncul

Aku tahu persis

Aku bisa hidup di sini


Animo terbuat dari abon gulung

Yang kini sudah turun status konservasinya

Dulu hanya ada 2 per hari

Sekarang bisa 2 baris berjejer setiap pagi




Aku seringkali lewat di depan Animo

Di hari-hari biasa

Tapi aku tak mau mengotorinya dengan keterburu-buruanku

Biarlah itu menjadi peran Shokupan

Yang abon gulungnya lebih murah tiga ribu

Tapi lebih sering menjadi tempat berteduh

Dari tugas-tugas yang membuat kepala gaduh


Jakarta, 23 Desember 2023

09.42

Sunday, December 17, 2023

Hikayat Rajah

Dalam lifeline sharing yang pernah aku tulis, tema besar hidupku ada tiga: Ekonomi, Kebebasan & Keberagaman, dan Musik & Games. Tapi sejatinya, dari tiga ini, yang nomor dua merupakan yang pertama dan terutama. Spesifiknya, tentang agama.

Mungkin orang yang mengenalku baik (dan sudah lama), tahu betul tentang ini. Sudah sering kuceritakan juga dalam berbagai forum dan kesempatan (anjay sipaling forum), jadi tidak akan kutulis detail di sini. Intinya, aku sangat merasa relate dengan tema keberagaman agama, toleransi antar umatnya, pernikahan beda agama, dst dst. Mungkin sampai bisa sebegitunya karena topik ini yang sangat sering menjadi isu dalam kehidupan sosial sehari-hari. Padahal buatku, agama pada hakikatnya adalah ajaran baik yang dapat mempersatukan perbedaan, bukan pemisah dan pemecah-belah.

*

Sekitar tahun 2009, kelas 2 SMA, aku mulai mengenal beberapa teman yang bertato. Menurutku keren, apalagi kalau gambar atau tulisannya berkaitan dengan prinsip hidup yang kita pegang teguh. Disclaimer dulu biar ga diserang buzzer: semua kalimat yang tertulis di sini adalah opini pribadi subyektif yang berlaku dalam pandangan dan caraku melihat dunia sampai saat ini. Jadi kalo ada yg punya pendapat lain, sah-sah saja dan mungkin itu baik menurut mereka.

Nah dari kelas 2 SMA itu, aku sudah punya keinginan untuk punya tato. Cukup spesifik pula: full sleeve di tangan kiri. Gambarnya Buddha duduk di teratai, belakangnya ada gapura yg biasa ada di pura, di atasnya ada bulan bintang, dan ada rosario yang melingkari mereka. Sisanya belum kepikiran waktu itu, tapi yang pasti akan berkaitan dengan lambang-lambang agama dan kepercayaan yang ada di dunia.

Waktu berlalu, hidup terus berjalan. Aku tidak pernah memikirkannya secara serius, tapi keinginan untuk tato ini tetap ada di kepalaku. sekitar tahun 2014, aku pernah meminta kawanku Beni si bos kecil untuk menggambar sketsa sesuai yang aku bayangkan. Dia menggambar di kertas memakai pensil. Sayang gambar itu tak terlacak di mana sekarang (tidak sempat difoto pula).

*

update: ternyata ada gambarnya, aku post di twitter tahun 2013

Hidup kembali berjalan. Dari Jogja, ke Depok untuk kuliah. Lalu tak terasa, hidup membawaku ke Jakarta untuk menetap lebih lama dan bekerja di sana. Mulai bisa cari uang sendiri. Bisa menabung. Hal yang tidak pernah terjadi selama hidupku sebelum itu. Aku mencari tattoo artist yang menurutku bagus. Dan gambar yang bagus menjadi causa prima dari tato yang aku ingin buat. Alasan pertama dan terutama. Aku mendapatkan referensi dari kawan, sebuah tato studio di Kemayoran bernama @twinmonkeytattoostudio. Seketika jatuh cinta dengan karya-karya @adithsetya. Blackwork, artstyle nya didominasi garis-garis tebal dan pekat. Aku memang suka tipe tato yang gambarnya besar, banyak blok-blok hitam. Tampan dan berani. Singkat cerita, 2022 bulan April, didorong impulsifitas pandemi (coba angkat tangan yang pernah mengambil keputusan besar dalam tempo sesingkat-singkatnya pada waktu pandemi -yang mungkin kalau kondisi normal tanpa pandemi, kalian ga akan ambil), aku chat WA Twin Monkey. Ternyata flow nya adalah, kita chat dengan managernya dulu, cerita tentang konsep tato kita (letaknya di mana, gambarnya apa, seberapa besar, dll). Lalu dia akan mengarahkan ke tattoo artist yang sesuai dengan konsep yang kita usung. Aku yang awam langsung menceritakan konsep dan bilang kalau pengennya ditato oleh Adith. 

"Oh kalo Adith maunya cuma Japanese blackwork aja bro, kalo konsep lo bisa ke Nick atau Dyra," kata sang manager.

 Oh oke..... batinku dalam hati. Keren juga ni tempat. Cukup idealis. Justru malah semakin align rasanya mendengar jawaban seperti itu. Segeralah aku mengintip ig @nickfilbert untuk memilih gambar referensi. Wah keren juga, style nya sesuai dengan yang aku mau. Ternyata beliau juga adalah ilustrator design sampul buku Harry Potter yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Ketika scrolling ig nya, ada satu gambar Bunda Maria yang menarik perhatianku. Tidak persis sama dengan konsepku, tapi rasanya cukup menggambarkan, karena itu gambar portrait Bunda Maria yang dibalut dengan ornamentasi yang keren. Setelah memilih gambar referensi, Riva sang manager ini menyebutkan perkiraan berapa jam total pengerjaan dan estimasi biaya, lalu akan membuat walk in appointment untuk konsultasi langsung dengan tattoo artistnya. Harus datang langsung, gabisa zoom. Aku mengiyakan untuk datang seminggu setelahnya untuk berkonsultasi dengan Nick. Konsultasi hanya berlangsung sekitar 15 menit, diantara sesi yang sedang dikerjakan oleh para artist. Meski cuma ngobrol sebentar, I knew Nick was the right guy from the start

"Gw suka banget bro sama konsep lo, menurut gw idenya keren banget."

Aku jadi tahu kenapa proses konsultasi dengan datang langsung ini begitu penting buat mereka. Karena relasinya juga harus oke. Ini tentang keputusan hidup yang akan dibawa mati. Nick melihat lengan kiriku, coret-coret sedikit dengan spidol untuk membayangkan layoutnya. Aku menambahkan satu frasa tulisan jawa dalam konsepku:

ꦯꦺꦗꦠꦶꦤꦺꦌꦱ

Sejatine Esa

Nick bertanya, "ini artinya apa bro?" setelah kujelaskan, dia makin semangat. "Wah keren banget, nanti gw bikinin sketsanya, lo akan liat hari H ya." Jadi ternyata kita hanya akan lihat gambarnya pada hari H, bisa revisi minor di tempat. Karena aku baru pertama kali tato, Nick juga menjelaskan do & dont's nya: H-1 harus tidur cukup, no alkohol karena akan mengencerkan darah dan berpotensi membuat bleeding sehingga tinta tato akan susah masuk. Stamina juga harus fit, karena kurang lebih aku harus menahan rasa sakit selama sekitar 7 jam tiap sesinya. Oke baik. Mendengar ini agak takut tapi keinginan untuk tato mengalahkan rasa takut itu.

Selesai konsultasi, Riva menjelaskan, next step nya adalah transfer booking fee untuk mengunci tanggal tato. Karena durasi total tatoku maksimal 14 jam, jadwalnya akan dibagi 2 sesi. Dia menyebutkan tanggal di akhir Agustus dan awal September untuk sesi keduanya. Selisih 2 minggu. Aku mengiyakan dan segera transfer booking fee. Sebenarnya agak kecewa karena ternyata waiting list nya selama itu. Waktu yang cukup lama untuk membuat kita berpikir ulang dan mlintir. Hahaha. 

Sampai akhirnya waktunya tiba.

*

Akhir Agustus 2022, aku datang siang ditemani oleh kawanku Beni si bos kecil dan Jati, yang selain karena excited ada temannya yang akan tato, juga untuk jaga-jaga kalau aku pingsan. For context: aku takut jarum dan darah. Waktu kuliah pernah iseng donor darah sehabis kelas siang karena mengincar snack dan susu, tapi malah pandangan menyempit dan hampir pingsan (malah ngrepotin susternya wkwk). Begitu datang, kami makan dulu untuk mengisi perut. Studio tato mereka bentuknya ruko, dan di lantai dasarnya ada warung bakmi. Bakmi babi enak bgt kacau.


Setelah makan, kami naik ke lantai 3 tempat studionya berada. Nick datang dan menunjukkan stensil dan respon pertamaku dalam hati "wow gede banget yh ternyata.." tapi keren banget parah. Dia lalu mengukurnya ke lengan kiriku, lalu menyiapkan alat2nya. Ternyata tatoku terdiri dari 2 stensil berbeda. Gambar Buddha di bawah untuk lengan bagian luar yang akan dikerjakan di hari ini, lalu salib dan rosario untuk lengan dalam yang akan dikerjakan di sesi 2 nanti.

OG stencil

Selama ini aku banyak bertanya ke orang-orang yang tatoan: "Sakit ga sih tato?" dan kebanyakan dari mereka bilang sakit, tapi pain tolerance orang beda-beda. Tapi susah dijelaskan juga sih sakitnya seperti apa. Dan benar, you don't know how, until the needle finally meet your skin. Beruntungnya buatku, ternyata sakitnya sangat manageable (lengan dalam beda cerita ya, apalagi deket ketiak. ngilu bayanginnya). Nick yang sudah kuceritakan disclaimerku memastikan sesaat setelah garis pertama diselesaikan.

"Gimana Yok, aman ya?"

"Aman banget," sahutku.

Dimulailah perjalanan panjang hari itu -yang surprisingly tidak terasa selama itu. Kami menghabiskan waktu sambil ngobrol. Nick bertanya padaku, kenapa konsepnya bisa gini, aku punya cerita apa. Setelah kuceritakan, ternyata dia bisa relate dengan itu. Ia juga menceritakan background hidupnya, yang tadinya adalah seorang ilustrator, lalu berpindah haluan menjadi tattoo artist. Tentang keresahannya bahwa banyak orang sekarang bertato hanya karena fomo. Serta bagaimana susahnya mencari aprentice yang suka menggambar tapi belum pernah menyentuh alat tato. Katanya kalau orang sudah pernah nato, banyak yang kemudian berhenti untuk studying the craft itself. Kalo udah gambar di kulit, gamau lagi gambar di kertas. Padahal menurut mereka, kulit hanyalah medium saja. Craftmanship nya harus terus diasah. Aku jadi makin kagum. Proses apprenticeship di Twin Monkey seserius itu, untuk bisa meneruskan value yang mereka percaya sebagai artist.

Tidak terasa 6 jam sudah berlalu, dan Nick menyudahi sesi pertama ini. Sisanya dia hanya memberi outline untuk kemudian diselesaikan di sesi kedua nanti. Bagaimana keadaanku? surprisingly baik-baik saja. Malah agak tidak rela bahwa sesi pertama disudahi di sini. Hahaha. Super excited. Tidak sabar untuk datang ke sini 2 minggu lagi.

*

Satu detil penting yang kulupakan adalah pose tangan sang Buddha. Nick tau-tau come up dengan pose itu dan aku lupa untuk riset dulu. Apa artinya? Adakah pose tangan Buddha yang lain, yang mungkin lebih relate secara filosofis dengan konsepku? Semuanya terkalahkan oleh excitement tato pertama. Hahaha.



Tapi untungnya, semesta memang selalu punya cara. Malamnya aku googling, ternyata pose ini namanya vitarka mudra. Pose that simbolize debate & discussion. Juga melambangkan infinite flow of information, dan bagaimana Buddha menyampaikan ajarannya. Pose ini merupakan salah satu pose yang paling populer ketika Buddha digambarkan.

BEST. Ga ada yang lebih pas buatku daripada pose ini.





hasil sesi 1

2 minggu berlalu, hari yang dinanti pun kembali tiba. Kali ini aku datang sendiri. Kami start lebih awal sekitar jam 11.30 untuk memastikan bahwa keseluruhan project bisa selesai hari ini juga. Tanpa basa-basi kami langsung ambil posisi dan mesin tato segera dinyalakan. Kali ini total 8 jam. Yang berbeda adalah, seperti yang kuceritakan di atas, sesi 2 ini mengerjakan lengan dalam, yang ternyata JAUH LEBIH SAKIT daripada lengan luar. Katanya karena kulit di lengan dalam lapisannya lebih tipis daripada yang luar. Apalagi yang dekat ketiak, itu benar-benar seperti diiris pisau. Perih bro. Masuk jam kelima, Nick berkata,

"wah berdarah bro."

Aku diam sebentar sebelum menyahut, udah takut disuruh pulang dan nunggu 4 bulan lagi untuk menyelesaikan T.T

Tapi dia bilang oke kalau aku oke, dan akhirnya proses tetap dilanjutkan. The last 2 hours was surreal for me. Capek, sakit, kesemutan di sana-sini karena ngga gerak selama 8 jam. Nick pun sama. Lebih berat bahkan, karena dia pake mikir. Dan bertanggung jawab sama hasilnya nanti.

But we push through.

first selfie with completed half-sleeve

Jam menunjukkan sekitar 9 malam. Kami adalah orang terakhir yang tersisa di studio. Masih ingat persis perasaan saat mengambil foto di atas. KEREN BANGET. Merasa menjadi orang paling keren di dunia. Setelah menyelesaikan administrasi dan mengucapkan terima kasih ke Nick, akupun pulang dengan hati yang penuh. Akhirnya gambar yang kurang lebih 13 tahun ada di kepalaku, sekarang ada di tanganku. Dalam bentuk terbaiknya.

*

Satu hal yang harus kuceritakan di sini juga adalah: proses recovery. Ternyata dalam hal ini, aku tipe orang yang kuat di eksekusi, tapi lemah di recovery. Jadi proses tato itu kan melukai kulit ya. Analoginya yang diceritakan Nick padaku di awal adalah seperti kalau kita kecelakaan motor. Bisa jadi lukanya hanya lecet, tapi karena badan kita trauma, kemudian sakit sebadan. Bisa meriang juga. Lecetnya nanti jadi koreng, lalu setelah kulitnya mengelupas, baru akan sembuh. Nah tato persis seperti itu. Pegal-pegal dan meriang itu adalah mekanisme tubuh untuk memproses trauma yang mereka alami. Kasusku, malam pertama setelah tato aku meriang. Mungkin karena ini tato pertama tapi sebesar itu, jadi badanku mungkin "kaget" menerima luka sebesar itu tiba-tiba.

fresh blood from session 2


Setelah fase sakit dan meriang ini timbullah hal paling menyiksa dari keseluruhan proses ini. Proses tato yang jadi koreng lalu mengelupas itu gatel bangetttttt. Parah. Tanganmu kayak disemutin bro. Gatelnya itu aktif. Apalagi malem sebelum tidur. Dan yang lebih memperumit keadaan adalah: ga boleh digaruk, karena kalau dia mengelupas sebelum waktunya, bisa jadi tintanya ikut keluar dan gambarnya rusak. Jadilah fase ini kunobatkan sebagai 2 minggu tergatel dalam hidupku. Sering kali aku terbangun di tengah malam karena rasa gatal yang teramat sangat.

proses recovery, liat gambarnya aja gatel

*

Setelah semua proses itu dilewati, baru benar-benar puas. Tato ternyata memaksaku untuk "berkenalan" dengan tubuhku sendiri. Seberapa jauh batas sakit yang bisa diterima, sampai pada proses pemulihannya.

Vitarka mudra ternyata juga menjadi konsep sentral yang sangat berarti buatku. Karena salah satu alasan aku ingin tato dengan gambar seperti ini, supaya ia bisa berfungsi sebagai discussion trigger. Aku sangat senang ngobrol dengan orang membicarakan tema-tema seperti ini (religiusitas, keberagaman agama, toleransi). Tapi aku sadar, tidak semua orang bisa diajak berbicara topik seperti ini. Dengan adanya tato ini, seringkali orang yang melihat akan tertarik dan kemudian bertanya "eh itu tato apa? bagus deh" and the rest is history.

Satu hal lagi, meski banyak orang di circle terdekatku juga radikal tentang tema-tema ini, tapi aku tetap tidak merasa ada orang yang ada di titik keresahan yang sama denganku. Jadi seringkali di tengah keluarga, sahabat, pacar, aku tetap merasa sendiri.

"ngapain sih sengotot itu."

"hidup jangan seideal itu lah brodi, capek."

..dan banyak kalimat lain yang seringkali membuatku merasa sendirian.

And to be honest, sometimes being lonely is.. sucks.

Tapi bukankah itulah definisi iman yang sebenar-benarnya? Ketika kamu bisa tetap berpegang teguh pada hal yang kamu yakini benar. To be able to hold your stance, even when the whole world is against you.

Now that I have this, I feel like I'm not alone anymore.



Jakarta, 17 Desember 2023
13.59 






Saturday, April 1, 2023

Ihwal Perjalanan Spiritual

Namanya Elok Satiti. Sungguh nama yang sampai kini, menurutku unik dan kuat. Elok artinya bagus, satiti artinya cermat. Bahasa Jawa sederhana yang kadang luput dari ingatan. Setelah menikah dengan I Gusti Made Susrama, tersematlah nama Susrama di belakangnya. Elok Satiti Susrama. Eyang, aku biasa memanggilnya. Ia tinggal seorang diri di Jember, Jawa Timur. Kelahiran tahun 1934, samar-samar aku ingat bagaimana eyang bercerita tentang bagaimana ia membantu pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia melawan tentara Jepang dengan menjadi kurir. Ia akan membawa amunisi, makanan, obat-obatan kepada para gerilyawan masa itu. "Anak kecil lebih tidak dicurigai", katanya. 

4 hal yang eyang sekali: menulis, menyanyi, tanaman dan anjing. Ini yang menghiasi hidup seorang dirinya di Jember sepeninggal pekak (kakek) yang meninggal tahun 1991. Ketiga anaknya merantau: yang tertua di Bekasi, kedua dan ketiga di Yogyakarta. Berulangkali eyang mau diboyong ke Yogyakarta supaya lebih dekat dengan kedua anaknya. Namun ia kekeuh menolak. "Rumahku di Jember. Kalau mau, kalian yang ke sini, bukan aku yang ke sana", katanya. Keras kepala memang orangnya, tapi itulah salah satu keelokan eyang. Dia orang tua independen yang punya hidupnya sendiri. Dia suka menulis, tentang apapun. Kadang berkirim surat dengan anak-anaknya untuk bercerita tentang apapun dan menanyakan kabar. Ia melatih koor di GKI Jember, dan aktif dalam pelayanan gereja. Rumahnya penuh dengan tanaman dan anjing. Aku ingat betul ketika sendiri berkunjung ke sana sekitar umur SD, aku ditidurkan di atas lemari karena lantai penuh anjing. Puluhan jumlahnya. Semuanya anjing kampung yang akupun tidak tau asal usulnya.  Menggonggong setiap ada orang tidak dikenal. Jadilah selama aku di sana, setiap masuk dan keluar rumah akan digendong oleh eyang supaya aku tidak digigit oleh anjing-anjing ini. Hanya 2 nama yang masih aku ingat dari mereka: Papa Cikona dan Mama Metinda. Ciko dan Meti singkatnya. Mereka inilah yang menemani dan menjaga eyang di Jember. Jadi bisa dibayangkan, dengan semua hal itu, betapa penuh dan sibuknya hidup eyang, bahkan di masa senjanya.

*

Eyang berasal dari keluarga Kristen yang taat. Lalu hidup mempertemukannya dengan pekak, seorang anak Pedanda (pemuka agama Hindu) dari Bali, kemudian memutuskan untuk menikah dan hidup bersama. Pekak meninggal tahun 1991, sedangkan aku lahir tahun 1992, jadi aku tidak kenal dengan beliau, kecuali lewat cerita-cerita dari eyang, ibu atau bapak. Tapi yang aku tahu, pekak tetap memeluk Hindu, sampai menjelang akhir usianya, ia meminta untuk dibaptis menjadi seorang Kristen. Tentu untuk seorang anak Pedanda menikah dengan orang Kristen, banyak masalah yang terjadi. Pekak mendapat sanksi adat dari keluarga, diputus tali silaturahminya. Mungkin bahasa sekarangnya adalah dicoret dari KK. Tapi ia tekun pada pilihan hidupnya, sampai akhir hayatnya.

Jadi dalam hal ini, eyang sudah melalui satu babak mayor tentang spiritualitas ketika ia menikah dengan pekak.

*

Waktu aku kecil, sekitar usia SD, kadang eyang akan datang berkunjung ke Yogyakarta untuk menengok kami. Ia akan naik kereta ekonomi Sritanjung dari Jember ke Yogya. Momen ini di satu sisi akan kunantikan, karena mengobrol dengan eyang itu mengasyikkan. Tapi di sisi lain, aku tahu persis ia akan menjadi polisi di hari Minggu pagi, untuk memaksaku pergi sekolah minggu di gereja. Sementara seperti anak lain seusiaku, tentu Minggu pagi adalah jadwal yang padat untuk kami. 6.30 pagi Let's n Go, jam 7 Chibi Maruko Chan di RCTI, lalu 7.30 ada Digimon di Indosiar dan terus berlanjut sampai siang hari. Tentunya ini adalah hal yang tidak bisa kulewatkan. Jadilah hari Minggu pagi setiap ada eyang di rumah, aku akan merengek atau menangis supaya tetap bisa di rumah menonton kartun favoritku. Tapi ia sangat otoriter. Sekolah minggu adalah wajib. Menangis pun aku akan diseret untuk pergi ke gereja. Bahkan sekali-dua kali, aku ingat eyang memarahi ibu karena tidak memaksaku ke gereja di hari Minggu.

Bapak adalah seorang muslim, tapi memang ia berkomitmen untuk menjaga dan mengantarkan anak-anaknya untuk ikut ibu menjadi seorang Kristen. Ia tidak setia pada ritual keagamaannya, tapi aku tahu persis imannya ada di sana. Jadi di rumah memang dinamikanya sangat beragam. Di hari minggu biasa ketika tidak ada eyang, hidupku lebih tentram. Bapak dan ibu sangat santai. Lebih bisa diajak kompromi untuk nonton kartun daripada ke gereja.

Tentang perbedaan ini di rumah, juga menjadi dinamika yang menarik ketika eyang berkunjung. Masih kisaran umur SD, aku ingat betul, ia sering melontarkan kalimat "kalau di Kristen" atau kata "Kekristenan" pada topik-topik yang kami bahas. Seringkali menimpali bapak, yang Islam dan cukup nyeleneh pandangannya. Seringkali mereka berdebat dan saling olok (seperti anak-anak yang "berantem" dengan teman sebayanya) tentang ini. Dalam topik-topik tertentu, bapak akan menyindir "Kalo di Kekristenan gimana, yang.." lalu seperti minyak yang disulut korek api, ia akan memberi kuliah 3 SKS tentang topik tersebut dari perspektif Kristen. Truly a preacher at that time.

*

Sekitar 12 tahun kemudian, hidup membawaku untuk kuliah di Jurusan Filsafat, sebuah bidang studi yang penuh stigma di Indonesia, tanpa orang benar-benar tahu, ia sebenarnya apa. Waktu itu eyang sangat support, karena ia tahu banyak pemikir besar lahir dari rahim ilmu filsafat. Terlebih lagi aku akan kuliah di universitas favorit di Indonesia yang mengharuskanku merantau dari Yogyakarta. Sekitar semester 5, aku berkesempatan untuk menghabiskan masa liburanku di Jember. Kali ini naik kereta bersama teman-teman SMA ku yang akan backpacking ke Bali via kereta dan ferry. Kami berangkat bersama-sama, tapi aku turun di Jember sementara mereka akan melanjutkan perjalanan dengan kereta yang sama sampai ke Banyuwangi, kota paling timur di pulau Jawa. Kurang lebih 2 minggu aku mengunjungi eyang kali ini. Aku lupa kapan terakhir kali aku bertemu dengannya, tapi rasanya tahunan. Ia masih seperti eyang yang dulu, hanya saja sudah lebih sepuh. Masih kuat untuk berjalan kaki ke mana-mana dengan topi tentaranya, tapi tidak sejauh dulu. Masih kenal dengan semua tukang becak seantero jember, yang semua memanggilnya dengan sebutan oma. Ia menjemputku dengan becak, dan memperkenalkanku tengan Pak Becak tersebut yang aku lupa namanya. Lalu sepanjang perjalanan mereka ngobrol dengan bahasa Madura yang tidak kumengerti. Tapi rasanya ia menjelaskan asal-usul dan silsilah keluargaku. Dari stasiun kami mampir ke pujasera di dekat sana (hal yang selalu kami lakukan setiap sampai di Jember), lalu kami makan, baru pulang ke rumah.

Sampai di rumah, eyang tidak menyuruhku untuk tidur di atas lemari seperti waktu SD dulu, tapi ia sudah menyiapkan kamar untukku. Kamar ini letaknya di depan, terpisah dari rumah utama yang menjadi ruang hidup eyang sehari-hari. Ia menyebutnya "kamar tamu". Kamar ini pengap (tentu, karena tidak pernah dihuni dan dibersihkan), diisi oleh 1 kasur kapuk ukuran single dan tv jadul, dan yang langsung menarik perhatianku adalah: kamar ini penuh dengan buku yang ditumpuk berserakan di lantainya. Ada yang diletakkan dalam box, ada yang ditumpuk begitu saja. Intisari, National Geographic, buku sastra, buku berbahasa Jerman dan Belanda yang kertasnya sudah kuning, dan banyak jenis buku-buku lain ada di sana. Katanya ia sedang beberes. Tahu aku akan datang, ia sengaja membiarkan buku-buku itu ada di sana, barangkali aku suka dan ingin membaca. Ruangan ini menjadi tempat utama perjalananku di Jember waktu itu.

Malam harinya, kami mengobrol. Ini adalah pertemuan pertama kami semenjak aku berkuliah di Jurusan Filsafat. Aku menemukan harta karun berupa buku berjudul "Religions of the World", bersampul merah, bahasa Inggris bukan terjemahan. Seketika itu aku langsung berkata ke eyang, "Yang ini buat aku ya, tak bawa pulang".



Ia sumringah, tentu saja memperbolehkan, dan menunjukkan beberapa koleksinya yang lain. "Jadi gimana kuliah filsafat?" tanyanya. Tentu sebagai mahasiswa filsafat semester 5, aku sudah tahu obrolan apa yang akan kulalui, terutama berhadapan dengan orangtua religius yang memegang teguh prinsip keimanannya. Kami ngobrol ngalor ngidul selama beberapa waktu, hingga akhirnya sampai pada kalimat magnum opus: "Yok, tapi bukannya orang filsafat itu ngga percaya Tuhan ya?" sambil menatap mataku dalam, sambil tersenyum. Berhadapan dengan dia, aku tahu betul pertanyaan macam apa ini. Sangat berbeda konteksnya dengan orang random yang melontarkan pertanyaan yang sama. Itu adalah salah satu momen dalam hidupku yang sampai kini aku masih ingat betul rasanya.

Tentu aku jawab, tapi biarlah hanya kami bertiga yang tahu. Yang jelas, kami ngobrol sampai larut malam itu. 

"Kamu udah belajar Marx?" tanyanya.

"Di kelas belum ketemu, yang, tapi aku suka banget topik itu, jadi sudah sering baca-baca sendiri".

Aku sangat suka topik tentang politik dan ideologi sejak SMA, jadi obrolan ini terasa begitu menyenangkan dan mengalir begitu saja. Kami menemukan sebuah kertas yang menyerupai kartu. Kata eyang, ini adalah kartu kereta milik pekak. Pekak adalah anggota MPR jaman Soekarno, dan di masa itu, salah satu fasilitas yang didapatkan sebagai anggota MPR adalah gratis bepergian menggunakan kereta. Petugas nanti hanya tinggal menulis data perjalanannya di kartu ini. Kartunya sudah berwarna kuning, ada tulisan huruf latin yang tintanya sudah mbleber ke mana-mana karena usia. Ia menceritakan pula bagaimana peristiwa 1965 begitu dekat dengan hidupnya waktu itu. Katanya, pekak punya foto dia satu frame dengan Mao di sebuah rapat MPR. Waktu sedang panas-panasnya G30S, eyang mengubur foto ini di halaman belakang rumah, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sungguh hingga kini aku ingin betul menemukan foto ini. Tidak ternilai harganya buatku.

Dari obrolan malam itu, aku tetap mengenal eyang sebagai seorang intelektual yang aku kenal dari dulu. Tutur dan bahasanya benar-benar bisa menunjukkan bahwa wawasannya luas dan ia suka belajar. Yang berbeda adalah, ia tidak memperlakukanku seperti anak kecil, seperti waktu ketika ia menyeretku untuk pergi ke gereja di hari minggu. Ia lebih banyak mendengarkan daripada dulu, yang sangat dominan dalam pembicaraan, dan seringkali memaksa pendapat "Kekristenannya" itu. Oke, ternyata orang se-sepuh eyang pun juga masih belajar tentang banyak hal.

*

Hari berikutnya, aku diajak eyang jalan-jalan ke Rembangan. Kalau Yogya punya Kaliurang, Jakarta punya Puncak, Jember punya Rembangan. Tempatnya dingin, kalau tidak salah berada di bukit-bukit, dan menjadi salah satu wisata jadul yang ada di sekitar Jember. Tapi waktu kami ke sana, tempatnya relatif sepi, hanya ada satu-dua kelompok orang yang ada di sana. Yang aku ingat betul, ada sepasang calon pengantin yang sedang melangsungkan foto-foto pre wedding mereka lengkap dengan fotografer dan beberapa kru yang terlibat. 

"Cah-cah enom jaman saiki, foto-foto prewedding koyo ngono, tapi uakeh sing 6 sasi mantenan terus cerai, Yok", (anak-anak muda jaman sekarang, foto-foto pre wedding seperti itu, tapi banyak yang 6 bulan menikah lalu bercerai, Yok) eyang nyeletuk out of nowhere kepadaku. Sambil tertawa aku menjawab, dari mana eyang bisa dapat judgement seperti itu? Banyak terjadi di gereja di sana, katanya. Aku hanya tertawa. Dalam hati aku kembali melihat, bagaimana perjalanan eyang, dari seorang yang cukup kolot (secara spiritual), hidup dalam tempurung kekristenannya, sampai pada sindiran terhadap hal-hal seperti ini. Aku yang SD tidak akan bisa membayangkan eyang bisa nyeletuk seperti itu.

*

Beberapa hari sesudahnya, eyang ada acara dengan kelompok koor di salah satu gerejanya (aku sebut salah satu, karena eyang aktif di beberapa organisasi gereja yang berbeda kala itu). Acaranya semacam retreat, berangkat bersama-sama menggunakan bus. Karena kedekatan eyang dengan pendeta di sana, kami disuruh untuk berangkat satu mobil dengan beliau, alih-alih bersama bus rombongan. Mobil diisi kami berempat: aku, eyang, Pak Pendeta yang memegang kemudi dan istri. Perjalanan memakan waktu beberapa jam, aku lupa pastinya. Yang jelas obrolan di dalam mobil tidak akan pernah hilang dari ingatanku. Karena aku belum pernah bertemu dengan mereka, tentu topiknya dimulai dengan eyang memperkenalkan siapa aku, siapa ibu bapakku, seperti yang ia lakukan dengan tukang becak setibaku di stasiun beberapa hari sebelumnya. Ketika topik sampai pada bidang studiku, tone obrolannya mendadak berubah. Pak Pendeta yang sambil menyetir menatapku dari kaca spion tengah. "Kok malah belajar filsafat? itu kan bertentangan dengan gereja?" nadanya meninggi. "Kenapa ngga ambil teologi? banyak lho universitas di Jawa yang jurusan Teologi nya bagus", sebelum aku membuka mulut untuk menjawab, dia sudah menyusulkan pertanyaan berikutnya. Tentu, lagi-lagi sebagai mahasiswa filsafat semester 5, obrolan seperti ini udah memiliki SOP dan tupoksinya sendiri di kepalaku. Aku eye contact dengan eyang, untuk membaca reaksinya, dan menerka bagaimana sebaiknya aku bersikap. Wajah eyang terlihat emosi. Di luar dugaanku, ia menyalak duluan untuk menjawab Pak Pendeta, menyanggah perspektif sempit tentang filsafat dan dogma gereja yang ia lontarkan sebelumnya. Perdebatan panjang bergulir dari sana, dengan nada yang sama-sama meninggi. Di luar dugaan, aku malah tertawa dalam hati karena menjadi penonton di sana.

Eyang, di usianya yang senja, masih adalah eyang yang kukenal dulu. Eyang yang merawatku waktu umurku satu tahun, ketika bapak ibu harus menjalani KKN di Jawa Tengah. Masih eyang yang menggendongku dari pintu masuk rumah menuju ke atas lemari tempat tidurku, agar aku terlindung dari gigitan anjing-anjingnya. Lalu sekarang ia melindungiku, bukan sekedar fisik, tapi pandangan spiritualku, dari seorang pemuka agama. Agama yang juga ia pegang dekat di hatinya, seiring dengan pertumbuhan imannya. Aku yang SD tidak akan pernah bisa membayangkan eyang berdebat dan melontarkan kalimat-kalimat seperti itu. Aku tidak ingat pasti bagaimana detil obrolannya, yang jelas sampai perjalanan berakhir di tempat tujuan, suasana menjadi panas, dan eyang bilang padaku, "Yok nanti pulangnya kita ikut bus aja." (tidak naik mobil lagi). Dan setelah acara selesai, kami memang pulang naik bus.

Satu hal lagi, eyang meminta maaf padaku setelah kejadian itu. Poin maafnya terutama karena membuatku ada di posisi yang tidak enak. "Santai, yang, sudah resiko jabatan," jawabku setengah bercanda.

Ketika aku pulang beberapa hari sesudahnya, buku bersampul merah yang kuceritakan di atas tertinggal, dan aku sangat kecewa. Aku jarang mengobrol dengan eyang setelah itu karena kembali hidup dengan kesibukanku sebagai mahasiswa, sampai sekitar 2 tahun kemudian, aku mendapat kiriman paket di kos. Isinya adalah buku tersebut, dengan secarik kertas bertulisan tangan eyang.

"Waktu itu Yok suka banget buku ini, tapi ketinggalan, maaf eyang baru ingat dan sempat kirimkan sekarang"

*

Kini, 4 tahun setelah eyang berpulang. Aku diingatkan kembali, hal terbesar yang diwariskan eyang melalui ingatanku: bahwa manusia bisa terus bertumbuh dalam keimanannya.


Jakarta, 1 April 2023