Sunday, March 11, 2012

Persimpangan


ketika itu, aku berjalan sendiri. kecil langkahku. sejengkal demi sejengkal.
hening. terlalu hening untuk jalanan selebar ini.
dimana? sebuah persimpangan.
sebuah persimpangan yang sepi dalam keramaian.
papan penunjuknya tertutup debu tebal. tulisannya tidak bisa dibaca.

kulihat kekiri,
mata kecilku berkedip. silau.
banyak daun berguguran. kuning, hijau, biru, merah.
tak ada tanda kehidupan disana.
hanya suara angin yang menyelinap diantara ranting pepohonan Ara.
dingin.

kulihat kekanan,
banyak orang berlarian disana.
aku tak tahu pasti apa yang mereka genggam, tapi tampaknya mereka bahagia.
aku juga ingin bahagia.
aku ingin orang lain juga bahagia karena aku bahagia.
masih dingin.

kulihat kebelakang,
mereka menangis. aku tidak tahu apa yang mereka tangisi.
aku tidak tahu itu airmata bahagia atau kesedihan.
ada seorang wanita. ia juga menangis.
aku seperti pernah mengenalnya.
tapi aku tidak ingat pernah mengenalnya.
tatapan mata itu.
bukan, bukan kesedihan. itu pengharapan.
dingin, jauh lebih dingin.

kulihat kedepan,
kosong. titik hitam berpendar.
jalan itu masih samar. ia menyamar.
mana yang benar?
tidak tahu. aku tidak tahu benar itu apa.
yang kutahu, benar itu tak berujung.
jalan tak berujung? ada di depanku.
dingin.



apa itu dingin?

          ***

ketika itu, aku berjalan sendiri. kecil langkahku. sejengkal demi sejengkal.
hening. terlalu hening untuk jalanan selebar ini.
dimana? sebuah persimpangan.
sebuah persimpangan yang sepi dalam keramaian.
papan penunjuknya.
debunya.
samar-samar ditiup angin.
"masa depan", katanya.


dalam keheningan, 4 Juli 2011
00.53

Saturday, March 10, 2012

Lambang



Kata orang, lambang merupakan interpretasi indra. Bantuan penyaluran informasi visual.

Saya yang memang sudah sejak lama ingin membuat blog (dan baru tercipta sekarang), memikirkan konsep dan segala macam ide yang berkaitan dengan blog ini. Termasuk lambang. Ya. Entah darimana datangnya pemikiran untuk menciptakan sebuah gambar yang merepresentasikan visi saya dalam blog ini. Kemudian secara membabi-buta (tanpa skill memadai) dan 4 jam penuh dengan tombol undo diperkosa berulang-kali. Lahirlah sebuah coretan seperti terlihat di samping.

Meskipun banyak kebetulan yang terjadi, syukur alhamdulillah makna dari gambar tersebut cukup jelas terlihat, dan kedalamannya sesuai dengan yang saya rencanakan. Garis hitam tebal membentuk spiral, dengan sedikit lekukan, banyak ketidak-teraturan, dan diakhiri oleh titik hitam yang sedikit bermetamorfosa.

Itu adalah sebuah kepala manusia, yang di dalamnya penuh dengan ide. Atau di lain sisi adalah sebuah tanda tanya besar dan membingungkan (sesuai dengan namanya, tanda tanya.)

Proses didalam kepala manusia memang jauh lebih rumit daripada persamaan kimia manapun. Dan ketika kerumitan itu tidak bisa dikeluarkan, ia akan mengendap, atau terbuang sia-sia. Itulah yang melatar-belakangi pembuatan blog ini. Supaya setiap "omong kosong" yang terlintas di kepala, tidak berakhir oleh hembusan angin, tapi bisa menetap dalam suatu wadah, yang akan selalu mengingatkan bahwa saya pernah berpikir, saya pernah memaknai peristiwa, dan saya pernah hidup.

Jakarta; Sebuah Abstraksi


*finally, mood menulis itu kembali, setelah sekian lama hilang entah kemana. :D

Abstraksi? dari www.http://kamusbahasaindonesia.org 
abstraksi artinya proses penyusunan abstrak;
[n] ikhtisar (karangan, laporan, dsb); ringkasan; inti 
[a] tidak berwujud; tidak berbentuk;

Abstraksi menurut paham terbatas saya : adalah proses penyusunan inti yang tidak berwujud.Contentually, tulisan ini merupakan abstraksi dari pertimbangan dan keputusan dari semua mimpi-mimpi gila tentang Jakarta dan masa depan saya di sana. :D

Latar belakang ceritanya adalah..
malam ini saya pergi ke stasiun kereta lempuyangan Jogja untuk mengantar 3 saudara gila (baca: cacing, beni dan kopi) yang akan berpetualang di Bandung. Stasiun. Entah kenapa tempat ini punya chi yang berbeda dari semua tempat yang ada. Somehow, saya selalu terharu ketika berada di stasiun, karena menurut saya, stasiun adalah tempat yang lekat dengan perpisahan, entah pergi atau ditinggal-pergi. Tidak seperti bandara atau terminal, stasiun dalam pe-rasa-an saya memiliki nuansa yang lebihguyub dan nyaman dibanding pangkalan transportasi yang lainnya. Saat itulah, saat mengantar mereka bertiga saya kembali mendapat pencerahan untuk sekedar menuliskan apa yang saya rasakan. (thanks alot guys, bahkan kepergian kalian memberi "sesuatu" buat saya :D)

Saya berencana meneruskan kuliah di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia.

Kenapa Filsafat?

Masa-masa kelas 3 SMA adalah brainstorming moment bagi saya. Kelas 3 SMA adalah masa pergulatan batin, dimana saya akhirnya berkenalan dengan sesuatu yang sangat menarik, filsafat. Di kelas 3 ini saya merasa berada dalam titik jenuh "belajar" tertinggi. (Belajar di sini maksudnya adalah proses belajar-mengajar formal di dalam kelas. Duduk mendengarkan guru, mengerjakan tugas dsb.)

Hari-hari kelas 3 saya habiskan dengan peningkatan intensitas tidur di kelas. Inilah titik awal kedalaman pemikiran itu muncul. Saya merasa aneh dengan hal ini. Menurut saya, belajar itu seharusnya menyenangkan, dan selalu ada sisi yang membuat kita tertarik untuk melakukannya. Tapi apa yang terjadi di kelas? Saya justru semakin sering tidur. Artinya buat saya adalah : sudah tidak ada lagi ketertarikan untuk "belajar". Pertanyaannya hanya, kenapa bisa begitu? well, sampai sekarang (atau bahkan sampai kapanpun) saya masih mencari jawaban atas pertanyaan ini :D

Dari situ saya mulai berpikir, kenapa pelajaran di kelas membosankan? kenapa pelajarannya tidak aplikatif untuk dunia-yang-benar2-nyata akan saya jalani?
kenapa?
apa yang dicari orang dari sekolah? ilmu? ijazah? nilai? angka? teman?

kenapa orang sekolah? apakah orang tidak bisa hidup tanpa sekolah?


Yah, itulah sekelumit pertanyaan yang sliweran di benakku saat itu. Mulai muncul pemikiran tentang hal-hal yang mendasar. Dan saya seperti menemukan hal yang belum pernah saya temukan sebelumnya. Berpikir. Ternyata menyenangkan juga ya memikirkan hal-hal yang mendasar semacam itu? :D

Semenjak itu saya mulai memindahkan pergumulan rak buku di perpustakaan, yang tadinya rak sastra, bergeser satu rak menjadi filsafat. Saya mulai membaca beberapa macam buku filsafat, mulai dari yang ringan macam novel "dunia sophie", atau yang mengenai cabang-cabang ilmu filsafat seperti filsafat psikologi, filsafat seni, filsafat jawa dengan sastra jendra dan "kesadaran kosmos"-nya, sampai dengan buku berbahasa Inggris keluaran Dorling-Kindersley berjudul "The Story of Philosophy"  yang mengenalkan saya dengan banyak simbah pengampu filsafat kuno macam Aristotle, Plato, sampai yang modern macam Hegel, Marx, Einstein, dsb.

Saya suka terhadap sesuatu yang sifatnya mendasar, karena dari pemikiran dasar kita bisa merangkak ke cabang pikiran manapun semau kita. Begitu juga dengan filsafat. Aplikasinya bisa ke disiplin ilmu manapun, tanpa batas. Borderless. Saya suka berpikir. Saya suka berpikir tanpa dibatasi. Keran pemikiran itu tidak terbatas. Dan saya menemukan wadah yang tepat untuk menampung keran pemikiran tidak terbatas itu, filsafat :)

Kenapa Jakarta?

18 tahun sudah saya bernafas, beraktifitas, dan hidup di kota senyaman Jogja. Dan di umur 18 ini saya baru menyadari betapa nyamannya Jogja itu. There's no place as homy as Jogja guys, trust me. Mau di manapun kalian berada, nggak akan ada kota yang sehidup Jogja. Suasananya, udaranya, masyarakatnya, keramahannya, harga makanannya. Percaya deh sama yang satu ini, Jogja is the one and only ! :D

Nah konfliknya bermula di sini. Jogja udah jadi terlalu nyaman buatku. Aku takut rasa nyaman itu yang nantinya jadi bumerang buatku. Aku takut semakin berat jika harus meninggalkan Jogja suatu hari nanti. Makanya, aku pengen keluar dari zona nyamanku ini, sebelum menjadi lebih berat lagi nantinya :)

Pemikiran itu memicu pergulatan batin lagi (as always).
Aku pernah duduk di angkringan sebelah tenggara alun2 utara (deket bakmi pele) menghadap ke barat daya. Waktu itu menjelang maghrib, suasana sekaten, mataharinya keliatan merah banget dibungkus langit biru gelap, lengkap dengan lampu khas kota jogja yang warnanya ijo, penuh lekukan tanpa sudut. Soundscape nya ada musik house yang diputer di ombak banyu, suara teriakan orang2 yang naik, suara setan di rumah hantu, suara motor di tong stand, suara adzan maghrib dari masjid. (aku menggambarkan sebisaku, kebayang nggak ya?) Nah entah kenapa disitu mengharukan banget suasananya. Aku berpikir, ini lho Jogja ! Suasana semacam ini yang bakal tak kangenin besok di Jakarta :')

(dan mulai saat itu, sudut pandang alun2 utara dari angkringan itu jadi tempat yang sakral bagiku ehehe :D)  

Jakarta tampaknya menantang untuk ditaklukkan, pikirku. Kaya apa sih Ibukota, yang katanya jauh lebih kejam daripada Ibu tiri itu? Memang aku berencana datang dan numpang hidup di sana untuk mencari konflik. Mengubah ketidaknyamanan menjadi zona nyaman baru melalui serangkaian proses yang aku yakin akan sangat memperkaya kualitas diri seorang manusia.

Berat memang meninggalkan Jogja dengan segala kenyamanan, kenangan, dan orang2 yang aku sayang di sini, berat banget. Tapi ini yang namanya hidup bro. Nggak ada manfaatnya kalo cuma diem di zona nyaman kita. "To discover something new, that's why life is beautiful, isn't it?"

Well, that's  my blueprint, guys :D
Itulah sekelumit cerita, gagasan dan pertimbangan tentang kenapa filfafat dan Jakarta yang akan mengisi hati saya beberapa tahun ke depan hahaha :D

Kepastiannya baru akan kudapat tanggal 30 Juni besok, minta doanya yaa :D

*Anggap saja tulisan ini merupakan pertanggungjawaban keputusan saya kepada orang tua (sing omahe tak tunuti urip karo mangan 18 taun iki :p), banyak teman yang mempertanyakan keputusan radikal ini (ben ora kemeng le njelaske), dan sukur alhamdulillah kalo bisa jadi manfaat buat kamu, kamu, dan kamu yang membaca :)

Jogja, 18 Juni 2011
00.43 

Rambut Adalah Mahkota Lelaki


Rambut saya pendek. YEAAAHHH!

Sebelumnya, mungkin bagi sebagian besar orang apa yang akan saya tuliskan disini merupakan perumitan dari sesuatu yang sebenarnya simpel; atau tulisan yang terlalu mendalam dari suatu hal yang sebenarnya dangkal. Yah, setiap orang berhak menilai, dan saya bisa menerima setiap respon yang mungkin keluar hahaha

Kali ini temanya rambut. Ya, RAMBUT.

Setelah kurang lebih 3 tahun menggunakan rambut panjang sebagai penghias kepala, beberapa waktu yang lalu saya memutuskan untuk memulai hidup baru dengan rambut pendek. Sebenarnya ide ini tidak muncul begitu saja, atau secara spontan sebagai manifestasi kekecewaan terhadap sesuatu, atau karena habis putus cinta (yang terakhir ini asu hahaha). Bukan, bukan itu semua alasannya.

Well, saya adalah manusia yang cenderung anti-rutinitas, tidak suka sesuatu yang konvensional, tertarik pada hal-hal yang tidak biasa, menghargai kebebasan ekspresi, dan memegang teguh apa yang saya yakini benar. Everyone is unique as themselves, itu yang saya percaya. Saya tidak pernah takut untuk menjadi berbeda. Saya tidak pernah silau terhadap perbedaan dan perubahan. Dalam konteks ini, perbedaan yang paling mencolok adalah perbedaan yang bisa dilihat. (visual difference).Apalagi dengan pupuk dari SMA Kolese De Britto yang menjunjung tinggi kebebasan hakiki setiap orang, saya semakin mantap dengan konsep "berbeda secara visual" ini. Berada di sekolah yang mengizinkan siswanya memakai hak nya secara bebas dan bertanggung jawab untuk berambut panjang dan tidak memakai seragam, secara alamiah mengubah visualisasi diri kami. Rambut gondrong, jarang mandi, celana sobek, tatto, dan banyak hal yang membuat kami terlihat berbeda dari anak sebaya kami yang lain.

Saya, sebagai salah satu anak-yang-secara-visual-berbeda mulai mengalami krisis identitas. Dimana pada waktu itu, banyak pemikiran yang menuntut kami untuk tidak hanya terlihat berbeda. Kami harus bisa benar-benar berbeda (secara positif, tentunya). Orang yang secara visual bebeda mempunyai kekuatan untuk memberi kesan terhadap si penglihat. Saya masih ingat betul bagaimana ekspresi orang waktu pertama kali melihat saya (dengan rambut gondrong waktu itu). Hampir setiap orang akan memberi pandangan yang "Wow gondrong, keren. Anak sma beneran nih?" atau "Ih jijik banget sih rambutnya kaya benang kusut gitu." Berlawanan, tapi keduanya punya persamaan mendasar: kesan. Orang akan cenderung mudah terkesan (bisa positif/negatif) kepada mereka yang secara visual berbeda. Dan kesan ini adalah modal yang sangat berharga untuk bisa dikonversikan menjadi sebuah hubungan yang komunikatif sesudahnya. Sekedar ngobrol, mencari informasi, channeling, atau buat cari pacar juga bisa hahaha

Sebenarnya ini nggak fair ya..seseorang dilihat hanya karena secara visual ia berbeda. Seharusnya manusia bisa melihat lebih dalam daripada hanya sekedar visual atau fisik semata. Bahkan seringkali kita dicap dengan stigma negatif hanya karena ciri-ciri fisik. Rambut gondrong identik dengan kesemrawutan (katanya), nggak tau aturan (katanya), tatto identik dengan narkoba (katanya) dan masih banyak katanya katanya yang lain. But hate to say, damn it's true dude! We live with all that kind of shit hahaha. Hal ini masih buaaannyyyaaaakkkk sekali terjadi (dan akan tetap terjadi :p).

Intinya, 3 tahun saya jalani dengan rambut gondrong. Entah berapa ratus, ribu, atau bahkan jutaan kesan yang sudah tercipta dalam rentang waktu tersebut. Saya sudah terbiasa, atau bahkan sudah terlalu terbiasa dengan previlege ini. Bagaimana hal "membuat kesan" ini begitu mudah ketika kita secara visual berbeda.

Yak titik baliknya bermula di sini. Bosan.

Bukan bosan pada rambut panjangnya, tetapi kepada bagaimana orang melihat Haryo-yang-berambut-panjang. Saya merasa sudah cukup kaya dengan pengalaman memberi kesan kepada orang hanya karena rambut panjang. Seorang teman di kampus, sebut saja mawar, pernah berdiskusi dengan saya perihal physical appearence ini. Dia memaparkan analisa filosofis yang mencengangkan buat saya waktu itu. "Yo, rambut lo sampe nutupin mata, itu ada artinya. Artinya lo nggak bisa melihat dengan jelas. Lo nggak bisa lihat dengan jelas orang lain yang benar-benar ada buat lo. Rambut lo juga nutupin kuping. Itu artinya lo nggak bisa mendengarkan orang lain. Lo udah terlalu lama hidup sendiri. Lo udah terlalu banyak memutuskan sesuatu tanpa mendengarkan orang lain. Jangan terlalu idealis lah.." kata mawar kala itu.

Shit. Am I really looked like that? Saya tidak merasa seperti itu, tentu saja. Hello, ini cuma rambut, nggak ada hubungannya sama nggak pernah mendengarkan dan melihat orang lain. Sebenarnya ini agak diluar konteks, tapi saya ingin bercerita bagaimana pandangan orang terhadap ciri fisik saya waktu itu. Bukan obrolan itu juga yang mengantarkan saya ke tukang cukur dan merevolusi rambut. Tapi obrolan itu mengantarkan saya kepada sebuah perspektif yang berbeda dengan apa yang selama ini saya gunakan. Oh, ternyata ada juga orang yang berpikiran seperti itu.

Then I decided to bring this on to the next level: Arupadatu state.

Arupadatu merupakan bagian tertinggi dari Candi Borobudur, dimana areanya paling kecil dibandingkan 2 bagian dibawahnya (kamadatu dan rupadatu). Bagian arupadatu ini melambangkan tingkat tertinggi dalam kehidupan, dimana bentuk/visual tidak lagi menjadi variabel yang menentukan (a- tidak; rupa- bentuk; arupadatu - tidak berbentuk). Ehem, ini adalah pelajaran IPS kelas 3 SD yang masih benar-benar saya ingat dan pegang sebagai filosofi hidup sampai sekarang.

Yep, saya memutuskan untuk menaikkan abstraksi dalam konsep ini, ke tingkat yang lebih abstrak, tidak berbentuk.

"Hah? Maksud lo?" Okay this is how it's gonna work..


Secara visual berbeda ------------> bikin orang terkesan (wajar lah, diliat aja udah beda).
Secara visual sama ---------------> bikin orang terkesan (mmmmm yang ini mungkin lebih susah).

Dengan rambut pendek (secara visual sama dengan orang kebanyakan), membuat orang terkesan atau mempunyai kesan terhadap kita menjadi lebih susah ketimbang ketika secara visual kita berbeda.

Oke, nangkep. Terus?

Nah di sini serunya. Ketika secara visual sama seperti kebanyakan orang, berarti kita harus punyasesuatu yang lebih daripada mereka yang hanya-sekedar-terlihat-berbeda. Apa itu? Nah ini dia yang saya maksud dengan "abstrak" tadi. Kita harus punya sesuatu-tidak-terlihat yang bisa bikin orang terkesan. Bahasa gampangnya invisible thing, bahasa susahnya conceptual thing. Bisa jadi ide, pemikiran, atau gagasan.

Inilah yang sedang saya kerjakan sekarang. Untuk bisa terlihat sama, tetapi ternyata berbeda hahaha
Bagaimana kesan itu tetap bisa ada meskipun sekarang rambut saya pendek, rapi, dan terlihat sama seperti orang kebanyakan. Saya menganggap potong rambut kali ini merupakan revolusi pemikiran;rennaissance atau kelahiran kembali. Kelahiran pemikiran dengan tingkat abstraksi lebih tinggi, mendekati esensi hidup yang pada hakikatnya tidak mempunyai bentuk.

Jangan tertipu bentuk, karena yang terlihat tidak selalu seperti tampaknya.
Visual is an obvious lie, look beyond what you see.

Depok, 26 November 2011
01.33 

Aku Bingung


Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
menari-nari di atas penderitaan kawan
tidak menghargai adanya teman

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
tak berbudi, nurani dimakan Setan
anak disiksa, pembantu diperkosa

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
serakah, saling sikut berebut tuntut
mata tertutup, hati tak bersahut

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
memperkosa lingkungan
menjadi penguasa alam yang mencelakakan

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
minggu berlutut di depan altar
senin berbuat makar
lima kali sehari sujud menghadap kiblat
tujuh kali sehari menyuntik obat

Aku bingung
melihat ulah kalian yang seperti hewan
tunjuk sana tunjuk sini
mendefinisikan kesesatan
tanpa tahu poros keAkuan

Aku bingung..
haruskah Kuambil semua, seperti ketika kalian belum ada?

Jakarta, 23 Oktober 2011
12.41

Tentang Kata Hati


Pernahkah kalian berada di persimpangan, dimana jalan lurus sama besarnya dengan jalan ke kiri dan kanan? dimana jalan ke kanan sama terang dengan jalan ke kiri? dan jalan lurus kelihatan sama baiknya dengan jalan mundur ke belakang?

Atau..berada dalam kebimbangan ketika mempertimbangkan sebuah keputusan? bingung menghadapi reaksi orang dari perbuatan kalian? benar atau tidaknya perbuatan tersebut?

Nah, satu hal yang bisa dipegang.
kebenaran itu tidak pernah mutlak.

dunia tidak mungkin hitam sepenuhnya, atau sepenuhnya putih.

Dunia ini penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian itu, banyak dipenuhi oleh persepsi/pandangan yang bisa mengaburkan kebenaran itu sendiri. Persepsi orang bisa jadi berbeda, tergantung sedalam apa dia mengetahui peristiwa tersebut.

Seringkali kita mempertimbangkan baik/buruknya sebuah tindakan karena pandangan orang lain. "Apa kata orang jika saya melakukan......bla bla bla." Padahal orang belum tentu mengetahui permasalahan sebenarnya. Informasi yang dia ketahui terbatas, tapi berani berkomentar (klise hahaha).

Lalu, jika berada dalam kondisi-kondisi seperti di atas, apa yang sebaiknya dilakukan?
Siapa yang dapat dipercaya? Kepada siapa kita bisa bergantung?
diri sendiri.

Sesungguhnya orang yang paling dapat dipercaya di dunia ini adalah diri sendiri. Karena dialah yang paling mengeri keadaan yang kita hadapi sekarang. Dialah yang paling tahu kedalaman masalah yang sedang kita hadapi. Sebenarnya kita punya pemberi saran yang ampuh : kata hati. Ia bisa datang kapan saja, tidak bisa ditebak, dan bisa jadi sangat berlawanan dengan apa yang kita pikir baik.

Mereka yang terlalu banyak mendengarkan kata-kata orang lain, biasanya tidak pernah mendengarkan kata hatinya sendiri. Jika ini diteruskan, dia tidak akan kenal pada dirinya sendiri.

Kata hati, bisa jadi salah. Tetapi ada satu keunggulan darinya: kita akan merasa lega, karena sudah mengikutinya (entah dianggap salah/benar tindakan kita).

Mengutip karya Susanna Tamaro: "Pergilah ke mana hatimu membawa- Va` Dove Ti Porta Il Cuore" : Dan kelak. di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau ambil, janganlah memilih dengan asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkan hatimu.Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah,dan pergilah ke mana hati membawamu...

Kata Confucius :
"Wherever you go, go with all your heart."

Jadi.....jangan pernah takut terhadap persepsi orang, karena sesungguhnya kebenaran tidak pernah mutlak, dan diri kita sendiri-lah yang paling tahu tentang apa yang ada di hadapan kita :D

Selamat mengenali diri sendiri, selamat berjalan dengan kata hatimu ! :)

Depok, 20 Oktober 2011 | 12.44

Berkacalah Pada Mereka..


       “Saya Pak Ngatimin..” Beliau berkata demikian seraya mengulurkan tangan keriputnya untuk berjabat tangan. Kuterima jabatan tangannya, dan kami berjalan menuju ke rumahnya. Kuperhatikan Pak Ngatimin, pria paruh baya yang kelihatan masih sangat kuat di usianya. Ia tidak memakai alas kaki, padahal jalan setapak di dusun jambusari ini penuh dengan bebatuan. Sudah terbiasa, katanya. Memang, kebiasaan bisa merubah seseorang, dan tergantung bagaimana membiasakan diri untuk membawa perubahan kebiasaan kita ke arah yang positif.

            Songbledeg sebenarnya adalah nama kelurahan, yang terdiri dari 2 desa : Jambusari dan Weru. Aku mendapat jatah merasakan tinggal di desa Jambusari.

            Masyarakat desa Jambusari adalah masyarakat agraris. Hampir semuanya bermata penceharian sebagai petani. Mereka memiliki ladang, yang secara turun-temurun diwariskan. Tanaman pokok yang ditanam adalah padi, ketela dan jagung. Corak geografis berupa batuan gamping yang berbukit-bukit membuat masyarakat di sana terbiasa bercocok tanam di atas bukit.

       Di desa Jambusari tidak ada anak remaja, karena biasanya setelah lulus smp, mereka langsung merantau ke kota Solo atau Jogja. Yang tinggal di sana hanyalah anak kecil dan oramg tua saja.

          Seperti kebanyakan masyarakat desa pada umumnya, mereka sangat menekankan rasa kekeluargaan dan gotong royong. Setiap musim panen tiba, semua warga bergotong royong memanen hasil secara bergiliran, dari satu ladang ke ladang lain.

            Keramahan juga sangat tampak dari kehidupan warga desa Jambusari. Semua saling mengenal satu sama lain, bahkan meskipun jarak rumahnya sangat jauh.

            Masih tak percaya rasanya waktu itu, berada di desa yang jauh, dalam sebuah acara sekolah yang diluar dugaanku sebelumnya. Tadinya kuanggap live-in sebagai sebuah kegiatan yang pasti akan terlalui, dengan atau tanpa usaha yang berarti. Live-in seperti sebuah sandiwara, dimana aku akan bermain peran di dalamnya. Aku hanya perlu membawa diri, seolah-olah menjadi anak Pak Ngatimin, warga desa Jambusari.

            Tetapi semua berbeda. Ternyata di sana, aku tidak seolah-olah mandi dengan air hujan, di kamar mandi yang lebih terbuka daripada kamar tidur. Aku tidak seolah-olah mendorong mobil pickup berisi 30 orang untuk bisa melewati tanjakan dan sampai ke pasar yang jauhnya 15 km. Aku tidak seolah-olah berinteraksi dengan warga desa lain. Aku tidak seolah-olah pergi ke ladang dengan berjalan menaiki bukit. Ini bukan sandiwara ! Memang inilah kehidupan masyarakat di sana. Dan melalui live-in, aku tidak bisa hanya “seolah-olah” menjadi anak Pak Ngatimin, warga desa Jambusari. Aku harus menjadi anak Pak Ngatimin, dan menjadi bagian dari Desa Jambusari itu sendiri.

            Di sana, aku mengenal yang namanya rasa syukur. Bagaimana mensyukuri keadaan yang sulit untuk disyukuri. Tidak ada air, menampung air hujan untuk mandi dan mencuci. Gagal panen, tetap gotong royong untuk membantu warga lain yang masih bisa panen. Jauh dari pasar, harus menempuh jarak 15 km dengan kendaraan yang memuat beban jauh melebihi kapasitasnya, dan harus turun untuk mendorong di setiap tanjakan untuk bisa sampai ke pasar. Untuk bisa sekedar menjual hasil panen yang sebenarnya tidak seberapa. Di sini aku berpikir, ketika aku merasa tidak nyaman berada dalam situasi semacam ini, bagaimana dengan mereka? Bagaimana dengan mereka yang mengalami ini 3 hari sekali?  Aku membayangkan kejenuhan dan keletihan yang teramat sangat. Tapi setelah melihat sekitar, aku tidak melihat raut wajah mengeluh. Yang ada adalah wajah gembira. Gembira karena inilah kesempatan menjual hasil jerih payah dan tetes keringat mereka. Meskipun harus melewati “jalan” yang tidak mudah, mereka begitu mensyukurinya. Inilah yang namanya rasa syukur. Mudah untuk bersyukur ketika kita dimudahkan dalam berbagai hal, tetapi bersyukur dalam keadaan sulit, jauh lebih bernilai rasanya.

            Ketika semuanya berakhir, aku masih ingat betul keramahan mereka. Bagaimana semua orang tua kami mengantar ke desa sebelah, untuk berkumpul dan pulang. Aku masih ingat suasana itu. Suasana haru saat kami menempelkan kepalan tangan kami di dada dan bernyanyi mars. Semua orang tua kami menangis. Dan aku yakin itu tangisan yang tulus, sebagai bapak dan ibu. 4 hari merupakan waktu yang sangat singkat. Dan sesingkat itu pula mereka bisa menerima kami. Sebagai anak, sebagai warga desa, sebagai tetangga, sabagai teman bermain, sebagai manusia utuh, karena mereka tidak memandang apa warna kulit kami, atau kekayaan dan pangkat orang tua kami. Mereka benar-benar menerima kami apa adanya.

           Dan akhirnya semua pergulatan batinku bermuara pada sebuah nilai kehidupan. Mungkin banyak orang menganggap hidup kita lebih beruntung daripada masyarakat pedesaan. Tapi menurutku, mereka lebih beruntung. Karena dengan merasakan apa yang mereka rasakan, aku bisa melihat banyak hal yang tidak bisa kulihat sebelumnya. Setelah kudalami, aku tidak ingin semua ini menguap begitu saja. Aku ingin apa yang aku dapatkan, bisa menjadi bekal perjalanan hidupku, sampai selamanya.  

Wonogiri, 30 Januari 2010

Tembok Itu Bernama Kesenjangan Sosial


2 tahun yang lalu. Ya, aku masih ingat betul apa yang kulihat waktu itu. Orang-orang di lingkungan yang kumuh itu mandi di kali. Kali yang jauh dari kesan bersih. Airnya keruh, banyak sampah hanyut, bahkan limbah dari perut manusia pun campur aduk di sana, di tempat yang mereka gunakan untuk membersihkan badan. Tidak terbayang olehku. Seandainya aku yang menggantikan posisi mereka, tentu bukan raut wajah itu yang akan keluar. Mungkin lebih baik tidak mandi bagiku, daripada justru membuat badan kotor dengan “membersihkan” badan di tempat itu. Tapi lihat mereka! Sama sekali tidak ada raut wajah jijik, dan tidak ada keluhan yang keluar dari mulut mereka. Justru celotehan canda dan tawa yang keluar dari mulut anak-anak yang sedang bermain air itu. Mereka terlihat sangat menikmati setiap cipratan yang mengenai kepala mereka. Mereka juga tidak segan untuk memasukkan kepala mereka dalam air, menyelam dan mengagetkan temannya dari belakang. Oh indahnya dunia mereka, pikirku. Dasar anak-anak.. Mereka tidak akan tahu pahitnya dunia sebelum berubah menjadi dewasa.

Kali itu merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitar. Tidak pernah sepi tepian kali itu sepanjang hari. Mandi, mencuci, bermain air, kencing dan buang air besar mereka lakukan di sana. Di depan tepi kali itu, tedapat sebuah toko kelontong yang menjual berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Di situlah banyak bapak-bapak sering berkumpul di sore hari,  mengobrol dan melepas lelah setelah seharian bekerja. Ada yang buka bengkel kecil-kecilan, tukang ojek, dan yang paling banyak adalah tukang becak. Mereka bisa menghabiskan banyak waktu di sana. Mungkin sebagian dari mereka melakukannya karena tidak betah di rumah, mendengarkan omelan istri yang menuntut materi. Yah, begitulah. Kehidupan di sekitar kali itu dipenuhi realita masyarakat akar rumput yang seakan tidak pernah ada habisnya.

Heran juga, kenapa di kota besar seperti Jogja ini masih ada saja masyarakat seperti itu. Di era pembangunan proyek real estate macam Casa Grande digenjot habis-habisan, ternyata masih ada orang yang mencuci pakaian di kali. Ada masyarakat yang masih buang air besar di kali. Sementara itu, pemkot masih sibuk dengan proyek renovasi, atau lebih tepatnya komersialisasi Tugu yang menghabiskan dana tidak sedikit. Mereka tidak lihat atau sengaja menutup mata? Entahlah.

Hari itu aku benar-benar melihat dan belajar. Kesenjangan sosial itu sangat nyata! Ternyata kesenjangan sosial bukan hanya tertulis di modul sosiologi yang sering kubaca. Ini nyata! Dan orang tidak berdaya untuk merombak, atau bahkan menghancurkannya.

                                                                                 ***

Ketika melihat lebih jauh, ternyata di dekat kali itu terdapat sebuah perumahan. Perumahan besar yang memakai tembok besar sebagai pagar pelindung. Hanya ada satu jalan masuk dan keluar perumahan itu, yaitu melalui jembatan di atas kali. Perumahan itu memang terletak di tengah kali, hanya saja tanahnya lebih tinggi. Dulu pernah ada banjir besar yang melanda perumahan itu. Kali yang meluap akibat hujan lebat selama berhari-hari menyebabkan air merendam perumahan itu setinggi 2 meter. Hal itu sebenarnya membuat orang menjadi takut untuk tinggal di sana. Tapi cerita itu sudah lebih dari 20 tahun yang lalu. Warga perumahan itu seakan ingin mengubur dalam-dalam kenangan pahit tentang perasaan kehilangan harta benda mereka. Mereka ingin memulai segala-sesuatunya dengan baru.

Kini, penghuninya rata-rata kelas menengah keatas. Hampir setiap rumah memarkir mobil di garasinya. Banyak lampu penghias di jalan, atau lebih tepatnya terlalu banyak, karena membuat penerangan sangat terang. Sebuah ide yang jauh melenceng dari esensi lampu sebagai penerang. Sementara perumahan itu begitu berlimpah listrik dan sumber daya, di depan toko kelontong dekat kali itu hanya ada satu lampu redup berwarna kuning, yang membuat mata sakit karena keredupannya. Itu saja akan dimatikan ketika jam sudah menunjuk angka 10 malam. Mobil warga perumahan yang kerap lewat sering mengacuhkan orang yang sedang duduk di sana. Jangankan menyapa atau sekedar permisi, mematikan lampu saja seakan sangat berat untuk dilakukan.

Aku berpikir, setelah ada kesenjangan sosial yang meresahkan macam itu, kenapa warga sekitar kali tidak pernah keberatan? Kenapa mereka seakan menyikapinya seperti angin yang berhembus begitu saja? Padahal kalau mau, mereka bisa saja berama-ramai menyerang dan menjarah seluruh harta benda warga perumahan itu. Mereka bisa melakukannya. Tapi, kenapa tidak?

Hati. Hati mereka berbicara di sini. Mereka tidak mau melawan binatang dengan memakai cara binatang. Berat, memang. Tapi itu yang mereka yakini, paling tidak untuk saat ini. Jika di kemudian hari mereka benar-benar merencanakan sebuah “agresi” ke perumahan itu? Mungkin. Hanya Dia yang maha tahu. Saat itu terjadi, bisa saja mereka menghancurkan tembok besar yang mengitari perumahan itu, tapi tembok kokoh yang bernama kesenjangan sosial tidak semudah itu bisa dihancurkan. Perlu sebuah proses yang panjang bagi seorang manusia jenius sekalipun untuk bisa memaknai dengan bijak sesuatu yang disebut perubahan.


Jogja, 14 Mei 2010, 16:54

Fase Kehidupan



lahir dengan kesucian.

bertumbuhnya pengetahuan.

melesatnya kedewasaan.

menemukan ke-berarti-an.

bertumbuhnya emosi rasional.

cinta-cintaan.

mencari peluang, menyia-nyiakan kesempatan.

hilangnya kepercayaan.

jatidiri dalam pencarian.

jatuh dalam kehampaan.

sendiri dalam keheningan.

bangkit dari keterpurukan.

memegang sebuah pendirian.

memburu suatu keniscayaan.

berlalu-lalang dalam ketiadaan.

Merapi Ingkang Numrapi


“Melihat kekuatan alam, jelas
manusia bukan tandingannya..”
             
            Melihat sebuah fenomena bencana akhir-akhir ini, ketika gempa bumi dan tsunami menghantam Mentawai, Banjir meluapi Wasior, Gunung Merapi memuntahkan isi perutnya, saya semakin percaya bahwa manusia bukan yang terhebat, apalagi jika berhadapan dengan kekuatan alam.
            Merapi yang biasanya ramah, menjadi tanah subur dan bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya kini menjadi hal yang menakutkan. Aliran lahar, material vulkanik dan awan panas (wedhus gembel) yang terus-menerus dimuntahkan telah menelan ratusan korban jiwa, menghancurkan ribuan rumah penduduk, dan memaksa ratusan-ribu orang mengungsi ke tempat yang lebih aman. Erupsi kali ini merupakan yang terhebat sejak tahun 1872, membuat perhatian media massa nasional, bahkan internasional tertuju kepadanya.


“..dia mengajari manusia untuk mendaya-
gunakan teknologi informasi dengan tepat..”

            Terkait dengan meningkatnya aktivitas merapi kali ini, banyak pemberitaan di media elektronik nasional yang cenderung berlebihan dan membuat kepanikan. Beberapa orang meninggal karena kecelakaan lalu lintas akibat pemberitaan salah satu televisi nasional yang menyebut awan panas merapi sudah sampai Jl.Kaliurang km 15. Padahal maksud sebenarnya adalah abu vulkanik merapi, bukan awan panas. Namun apa daya, masyarakat terlanjur panik dan kehilangan filter informasi yang dimiliki. Kecelakaan terjadi di seputar Jalan Kaliurang terkait pemberitaan tersebut dan menyebabkan korban jiwa melayang sia-sia.
            Beberapa wartawan juga sempat dilarang untuk meliput oleh warga masyarakat sekitar karena takut menyebarkan informasi yang berlebihan. Bahkan ada yang sampai dihakimi massa karena masih memaksa untuk meliput.
            Ironis? Ketika teknologi informasi berkembang begitu pesatnya, justru ia bisa jadi bumerang yang memperparah keadaan jika tidak bisa didaya-gunakan dengan bijak. Apa yang bisa saya bantu? Paling tidak, dengan mencoba membantu menyalurkan informasi valid tentang kondisi merapi dari sumber yang bisa mempertanggung-jawabkan, yaitu dari situs resmi komunitas relawan merapi danlive streaming radio amatir posko-posko pemantauan yang berada di ring 1 lereng merapi via situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter.

“..dia mengajari kita untuk bergandengan,
tanpa melihat keterbatasan dan perbedaan..”

            Solidaritas. Simpati. Empati. Aksi. Evaluasi. Refleksi. 6 kata yang menjadi dasar semangat membantu. Kesemuanya itu tertuang penuh dalam bencana kali ini. Pun ketika kami menerima 150-an pengungsi dari 3 desa di lereng merapi, bantuan begitu derasnya mengalir. Melalui twitter, sms atau bahkan telepon, kebanyakan dari orang tidak dikenal yang dengan ikhlas mau membantu. Tidak selalu besar jumlahnya, tapi yang pasti menjadi manfaat bagi penerimanya.
            Komunitas relawan merapi juga menjadi cermin bagaimana masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat merapatkan barisan dan dengan ikhlas membantu tanpa pamrih. Sebuah sisi positif dari sebuah bencana : manusia menjadi peduli.
Itulah esensinya. Bukan masalah siapa, tapi bagaimana bisa membantu sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita. Setiap manusia dan golongannya memang berbeda, tapi justru dengan perbedaan itu kita bisa saling melengkapi. Dan sekali lagi, melalui peristiwa ini, sebuah benda mati mengajari kita untuk bergandengan, tanpa melihat keterbatasan dan perbedaan.

“..dia menunjukkan kepadaku manusia-
manusia hebat yang berharga..”

            Seakan-akan tenaga mereka tidak terbatas untuk menolong. Ketika ada informasi melalui telepon atau sms, selalu saja ada jari yang teracung untuk bersedia berangkat. Dari tempat yang dekat seperti samirono atau kentungan, sampai yang jauh seperti desa blabag, magelang atau sayegan, godean. Tanpa bertanya ini-itu, menunjukkan betapa ikhlas manusia-manusia hebat ini. Sesuai dengan namanya, relawan, berarti rela untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kami yang tetap tinggal di posko hanya bisa menitipkan doa dan salam kepada semua yang berangkat.
            Bukan cuma yang keluar, tapi orang-orang bagian logistik, data atau mereka yang mendampingi pengungsi di aula, semua memberi pelajaran yang berbeda kepada saya. 4 hari bukan waktu yang singkat untuk tetap siaga. Dan hal itu terjadi saat ini. Membuktikan bahwa tenaga dan pikiran tidak akan terbatas untuk sesama.

“..dia mengajari kami cara
memberikan keramahan..”

            Bayangkan ada 150 orang tidak dikenal yang secara tiba-tiba masuk ke dalam komunitas, dan bersinggungan langsung dengan kita. Canggung, awalnya. Melihat bagaimana masyarakat yang sangat berbeda kebiasaan ada di depan mata dan hidup berdampingan dengan kita. Mau tidak peduli? Bisa saja. Tapi tentu saja tidak ada pembelajaran dibalik setiap ketidak-pedulian. Mungkin sekedar berbasa-basi, atau sekedar mengucap salam, ternyata yang bagi kita hanya “sekedar” bisa jauh lebih bermakna bagi mereka. Tampaknya obrolan ringan juga bisa menjadi trauma healing yang mujarab.
           Hal ini yang sering dilupakan. Bahwa tanggap bencana bukan hanya membantu dengan logistik atau tenaga relawan. Ada trauma mendalam yang berdampak pada sisi psikologis mereka yang menjadi korban. Mendengar cerita teman relawan yang mendampingi sesi menggambar anak-anak di pengungsian, saya semakin trenyuh. Semua anak menggambar gunung meletus. Ada yang menggambar gunung yang indah dengan coretan pemandangan khas anak-anak, tetapi kemudian diakhiri dengan membuat garis tebal yang melambangkan wedhus gembel dan lava pijar keluar dari kawahnya.
           Justru trauma psikologis seperti ini yang akan paling lama masa penyembuhannya jika dibandingkan dengan kerugian fisik yang terjadi. Setiap dari kita bisa membantu, jika peduli. Keramahan? Sebuah hal sepele yang berdampak besar, ternyata.. 


Teman-teman baru kami pada waktu itu :)
“..dia menunjukkan senyum dari mulut
yang seharusnya tidak bisa tersenyum..”

           Ekspresi apa yang kita harapkan dari sebuah bencana? Mungkin semua ekspresi yang melambangkan kesedihan. Tapi ternyata apa yang saya temui? Bukan tangisan, bukan keluhan, tapi senyuman. Di saat bencana melanda, mereka yang menjadi korban masih saja bisa tersenyum. Khas filosofi Jawa yang nrimo dengan ikhlas, pasrah tanpa putus asa. Sebuah kekayaan intelektual yang belum tentu dimiliki masyarakat kota yang notabene dianggap lebih “beradab” dan mengenyam pendidikan tinggi daripada mereka yang tinggal di desa.
           Melalui mulut anak-anak kecil di pengungsian, aku melihat senyum yang menurutku tadinya tidak mungkin untuk kulihat. Mereka tersenyum, bahkan ketika melihat orang baru yang tidak dikenal, bertanya nama dan langsung mengajak bermain petak umpet. Melihat betapa bahagianya mereka meskipun sedang ditimpa musibah, sungguh sebuah realita yang sangat reflektif, mengingatkan kita yang selalu mengeluh meskipun sudah diberi begitu banyak kemudahan dan fasilitas berlebih. Mungkin ini bukan materi pelajaran yang mempengaruhi nilai raport, tapi aku merasa berharga bisa mempunyai kesempatan untuk belajar bersyukur dari mereka, dan selanjutnya mendapat nilai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

“dan akhirnya, dia menunjukkan
 sisi lain dari sebuah bencana.”

           Mengeluh dalam keadaan berlebih itu biasa. Tapi mensyukuri keadaan sulit, itu sesuatu yang luar biasa. Setiap peristiwa punya 2 sisi untuk dilihat. Mau melihat dari sisi “bencana yang menyengsarakan” ? Atau dari sisi “bencana yang menjadi manfaat” ? Semua kembali pada diri kita sendiri. Terpuruk dalam kesedihan, dalam kapasitasnya bisa bermanfaat. Tetapi hidup terus berjalan, dan akan lebih baik jika kita melihat sesuatu yang lebih dalam daripada hanya sekedar kesedihan itu sendiri.
           Dalam keganasannya kini, Merapi masih saja menyiratkan dirinya yang dulu. Merapi ingkang numrapi. Merapi yang memberi manfaat.



Yogyakarta, 15 November 2010 | 23:49